Kamis, 24 Agustus 2023

Selasa, 22 Agustus 2023

SELASA SASTRA - PUISI "Sepuntung di Pangkuanmu"

 Sepuntung di Pangkuanmu

 

Karya Bopa

 

Izinkan aku menggugat aroma

Yang dengan sengaja mencumbumu

Demi membelamu,

Kukirimkan berkas selengkap-lengkapnya

Tidak pada pengadilan agama

Tapi pada warung madura

Semoga bapak atau ibu

Dapat berlaku seadil-adilnya

SELASA SASTRA - PUISI "Nyala Abu Terang"

Nyala Abu Terang


Karya Rasyad


Lara mata ini mungkin tak seberapa

Tapi lara tetaplah lara

Dan tentu saja semuanya tidak ingin

disepelekan

Ini bukan tentang kaca, plastik, atau kacamata

Tapi tentang berakalnya lidah seorang-orang

SELASA SASTRA - CERPEN "Hau Si Kucing Jelek"

 HAU SI KUCING JELEK

Karya Revalda Aulia Syarasmita


Di sebuah lorong sempit, Badi, sang kucing putih bercorak orange mendapati seekor anak
kucing aneh di sekitar kandangnya bersama anak-anaknya. Matanya melebar dan penuh dengan
kewaspadaan. Ia mengendus anak kucing yang meringkuk itu, tetapi baunya sangat tidak enak
dan bukan bau anaknya, ia mendesis marah.
“Anak siapa yang diletakkan di depan rumahku dan anak-anakku,” ucap Badi, si kucing
orange dengan nada marah.
Tak lama ada seekor kucing abu lewat, matanya menatap Badi yang sedang kebingungan
dan marah dengan seekor anak kucing yang entah dari mana itu, ”Meong! Halo, Bu Badi, sedang
apa?”
“Halo, Pak Rau. Ada seekor anak kucing yang tiba-tiba ada di depan rumahku, meong!”
Badi mendepakkan kakinya ke tubuh anak itu dengan pelan.
“Bukankah itu anakmu, meong?” tanya Rau, si kucing abu.
“Meong! Bukan! Aku tidak mengenal anak ini! Dari baunya saja aku yakin ini bukanlah
anakku,” Badi membuang wajahnya.
“Sudahlah, Bu Badi, lebih baik kau urus saja, meong,”
“Meong! Kau saja yang urus sana!” Badi memelotot marah.
“Hiss! Anak itu terlihat aneh dan besar, aku tidak mau mengurusnya,” Rau mendesis
jijik, “Kalau begitu, kita laporkan saja pada kepala wilayah kita,”
Badi mengangguk cepat, “Meong!”
Anak kucing aneh itu masih tertidur saat Rau dan Badi terpaksa membopongnya ke
tempat penampungan sampah, dimana kepala wilayah mereka sering singgah. Saat sampai

disana, ternyata ada banyak kucing lainnya yang bersama kepala wialayah mereka. Kucing abu-
abu dengan perawakan yang besar dan wajah yang penuh dengan luka, duduk di tempat teratas

dari kawanan mereka. Kucing tersebut bernama Gar, ia memiliki perawakan yang sama dengan

Rau karena Gar merupakan keturunan Gar. Saat Badi membawa anak kucing aneh itu, kucing-
kucing di sana seketika mendesis waspada, kecuali Gar, sang kepala wilayah.

Setelah menceritakan cerita lengkapnya, Gar langsung mengambil keputusan untuk
menyuruh Badi merawat anak itu, disetujui oleh kucing lainnya. Hal itu membuat Badi sangat
kesal, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Anak kucing itu tumbuh besar dibawah perawatan
Badi. Tetapi tidak membuat anak kucing aneh itu tumbuh dengan kasih sayang ibu angkatnya
dan keramahtamahan kucing di sekitarnya. Badi selalu membeda-bedakan anaknya dengan anak
kucing aneh itu.
Semakin besar, Badi semakin ketakutan dan menjauh dari anak kucing aneh itu.
“Hau! Sudah ku bilang, jangan mengganggu anak-anakku! Hiss!” Badi melayangkan
cakarnya ke arah wajah Hau—anak kucing aneh itu.
“Meong...” para anak kucing lainnya bersembunyi di balik tubuh ibunya.
“Tapi aku juga anakmu, bu...” Hau meringkuk ketakutan.
“Memangnya kau tidak sadar dengan tubuhmu itu, meong! Kau itu bukan anakku!”
Hau menangis kecil, “Ibu...”
Hau sebenarnya sudah tahu bahwa ibunya bukanlah ibu kandungnya. Ia dicemooh dan
dijauhi oleh teman-teman kucingnya karena tubuh aneh besarnya serta corak Hau yang terlihat
berbeda. Besar tubuhnya sudah setara dengan Gar, si kucing penguasa wilayahnya. Amarah Badi
sudah memuncak dan Ia memilih untuk mengusir Hau karena dirinya sudah tidak mau lagi
menguerus anak kucing jelek itu. Hau berlari menjauh dari pemukiman kucing dan memilih
untuk masuk ke dalam hutan, tempat dimana ia tidak perlu mendengar ejekan kucing lain yang
berkata bahwa dirinya jelek.
Hau berjalan, terus berjalan, jauh masuk ke dalam hutan. Saat kelaparan, ia akan
menangkap tikus hutan. Ia bisa menangkap tikus hutan karena Gar mengajarinya. Hau terkejut
saat mengingat nama Gar. Seharusnya Ia berpamitan dulu dengan Gar, karena hanya Gar yang
selama ini selalu menghibur, menemani, dan juga mengajarinya banyak hal. Hau menangis

kencang sambil memakan daging tikus hasil tangkapannya. Setelah lelah menangis dan perutnya
sudah terisi, Ia kembali berjalan masuk ke dalam hutan.
Ditengah perjalanan, Hau bertemu dengan seekor harimau yang besarnya empat kali lipat
dari besar tubuh Hau. Tubuh anak kucing itu bergetar ketakutan. Ternyata ucapan Gar tentang
kucing raksasa itu benar, dan kucing itu sekarang sedang berdiri di depannya. Mata merah
menyala itu menatap Hau yang meringkuk ketakutan.
“Ibu... tolong aku...” Hau menangis kecil, takut Tuan Harimau yang ada di hadapannya
memakan tubuh kecilnya.
“Halo anak manis, kenapa kau sendirian di sini?”
Tidak seperti yang Hau pikirkan, Tuan Harimau itu justru menyapanya dengan ramah.
Pelan-pelan Hau menatap ke arah Harimau itu yang ternyata sudah duduk dan menunduk
menyamai tinggi Hau. Tetapi anak kucing itu masih ketakutan dan tetap menangis. Tuan
Harimau kebingungan, ia memutuskan untuk mengangkat Hau dengan cara menggigit
tengkuknya. Hau mengira bahwa dirinya ingin dimakan sehingga tangisnya semakin membesar.
“Tenanglah, nak, aku tidak akan memakanmu,” ucap Tuan Harimau panik.
“Huaa! Huaaa! Ibu! Aku mau dimakan! Huaa!” Hau menangis kencang tanpa melihat
bahwa di sekitarnya sudah ada banyak harimau yang mengelilinginya.
“Kau apakan anak itu, Gad? Kenapa bisa sampai menangis?” seekor harimau betina
menghampiri Tuan Harimau yang ternyata bernama Gad.
Tuan Harimau meletakkan Hau yang sudah meringkuk lagi karena ketakutan, “Dia
sepertinya tersesat di dalam hutan. Anehnya anak ini sangat takut kepadaku,”
“Wah, manis sekali anak itu,”
“Benar! Dari hutan bagian mana kau menemukannya, Gad?”
“Sangat manis! Kalau saja anakku setengahnya dari anak manis itu,”
“Benar!”

Harimau betina itu menghela nafas dan menyuruh harimau-harimau lain untuk menjauh
dari tempat ini supaya Hau berhenti menangis, “Kau juga Gad, biar aku yang mengurusnya,”
Gad menatap anak itu khawatir lalu mengangguk, mengikuti kawanan harimau lainnya
yang protes karena harimau betina itu mengusir mereka.
“Halo, anak manis. Perkenalkan, namaku Fera,” Fera—si harimau betina—ikut terbaring
mengikuti tubuh kecil Hau supaya anak itu tidak takut.
Perlahan Hau mengintip dari sela-sela kakinya, “Apa kau akan memakanku?”
“Tidak akan, sayang, mana mungkin aku memakan anak manis sepertimu,” Fera menatap
Hau dengan senyuman.
Hau pelan-pelan berdiri sambil mengelap ingusnya, “Halo, Fera, maafkan aku telah tidak
sopan saat kau memperkenalkan diri,”
“Oh, anak yang baik, tidak apa-apa, nak, apa kau sudah baikan? Siapa namamu?”
Hau mengangguk, “Namaku Hau,”
“Nama yang manis, kenapa kau di hutan sendirian?” Fera menjilati kepala Hau dengan
lembut.
“Aku tersesat, aku tidak tahu kemana ibuku,” jawab Hau dengan lirih. Sebenarnya Hau
tidak tahu harus menjelaskan dari mana, sehingga ia hanya menjawab seadanya.
Fera menghela nafas dan memeluk Hau yang sudah mulai menangis dengan ekornya,
“Tak apa, sayang, sekarang ada aku di sampingmu,”
Mulai hari itu, Fera , si harimau betina, memutuskan untuk merawat Hau seperti anaknya
sendiri. Hari berganti hari, Hau sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya
bersama kawanan harimau lain. Ia diasuh oleh Fera dan Gad yang baik hati dan mengajarkan
Hau menjadi seorang harimau. Hau juga memiliki banyak teman dan kawanan harimau sangat
menyukainya, berbeda dengan kawanan kucing yang membencinya dulu.

Setelah Hau bertumbuh besar, Fera dan kawanan harimau lain mengetahui bahwa Hau
dulunya diperlakukan tidak baik oleh kawanan kucing karena dirinya berbeda.
“Tentu saja, Hau! Kau itu kan harimau! Sama seperti kami!” Gad melebarkan matanya
terkejut mendengar cerita Hau, “Dasar kucing-kucing itu, sudah seharusnya kau balas, Hau! Kau
itu lebih besar dan lebih kuat dari mereka,”
Kawanan harimau lainnya mengangguk setuju, mereka sibuk berkumpul dan
mendengarkan cerita Hau di dekat sungai. Hau yang tidak mengetahui hal itu, langsung terkejut.
Mana bisa kucing sepertinya bisa berubah menjadi seekor harimau? Hau menolak pernyataan
Gad karena hal itu tidak mungkin. Gad memutuskan untuk mendurung Hau ke sungai dan
menyuruhnya melihat pantulan dirinya di air.
“Kau lihatlah pantulanmu, Hau. Sama denganku bukan?”
Hau terkejut, ternyata benar. Dirinya bukanlah seekor kucing besar dan aneh, ia adalah
seekor harimau yang ditakuti oleh kawanan kucing dan hewan lainnya selama ini. Itulah
mengapa tubuhnya lebih besar dan coraknya lebih aneh dari kucing lainnya, karena Hau adalah
seekor harimau yang gagah perkasa. Hau tersenyum terharu, ternyata selama ini ia salah
menempatkan diri untuk tinggal. Tentu saja harimau tidak akan bisa menjadi kucing dan kucing
tidak akan bisa menjadi harimau.
“Kenapa selama ini kau tidak memberitahuku?”
Gad menaikkan bahunya, “Ku pikir kau sudah tahu. Manalahku tahu kau diusir dari
kawanan kucing-kucing jahat itu, makanya setelah ini kau harus membalaskan dendammu,”
Hau menggelengkan kepalanya, “Tidak, Gad. Walaupun mereka sudah membuatku
terusir, tetapi merekalah yang memberiku makan jika kelaparan. Lagipula tidak semuanya
berbuat jahat, ada juga yang baik kepadaku,”
Gad tersenyum, “Kau memang anak baik, Hau. Ya sudah, bagaimana kalau kita berburu,
Fera pasti senang jika kita bawakan kelinci hutan,”
Hau mengangguk. Sejak saat itu Hau menjadi harimau seutuhnya dan tidak lagi
merendahkan diri karena dirinya adalah kucing aneh dan jelek, seperti perkataan para kucing itu.

POPULER