Kisah Kasih yang Hilang
Penulis: Nisam Putri Sabila
Foto : Bungawan
Tak ada satupun orang di pasar yang tidak mengenal Kasih. Pedagang jajanan pasar yang selalu diagung-agungkan oleh pembeli, terutama kaum adam. Mulai dari lelaki remaja hingga yang sudah tidak muda selalu membeli jajanan pasar yang dilabeli paling murah di pasar tersebut. Para lelaki tidak mau kalah rebutan untuk menyentuh tangan lembut Kasih dengan berbagai cara, baik sengaja maupun tidak disengaja. Kaum adam itu bahkan lebih memperhatikan Kasih, daripada memperhatikan kue yang dimasukkan ke kantong plastik ataupun uang yang diberikan kepada penjualnya.
Kecantikan Kasih tidak selalu membawa kebahagiaan bagi seseorang. Selama berdagang, tidak jarang Kasih mendengar ocehan wanita lain, terutama ibu-ibu yang memaki Kasih karena berjualan hanya bermodal cantik saja. Kasih juga sering dilempari kata-kata kasar yang cukup membuat Kasih sakit hati. Namun hal tersebut hanya dibiarkan begitu saja oleh Kasih. Dia tidak mendebat balik atau membela diri karena tidak ingin pertikaian berlanjut lebih lama.
Kasih sendiri cukup risih dengan para lelaki itu. Meskipun sudah berusaha menghindar dari godaan dan rayuan, Kasih tetap tidak bisa menghindar selama penampilan cantiknya masih utuh. Kasih sendiri sudah muak dengan para istri yang terus memaki Kasih karena menggoda suaminya. Kasih juga sudah lelah menerima peringatan bahwa dia harus menutupi kecantikannya yang bisa menggugah hasrat lelaki. Bahkan, baru saja Kasih menerima kabar bahwa ada salah seorang pedagang pasar sebelah yang terkena pelecehan di jalan karena penampilan fisiknya yang menggoda. Rasa takut sebenarnya sudah mulai muncul di dalam benak Kasih, namun dia juga mempertanyakan, apakah kecantikannya itu berbahaya dan membawa malapetaka? Mengapa juga kecantikannya bisa mengundang hasrat para lelaki? Apakah orang cantik itu berdosa? Toh Kasih merasa tidak pernah berjualan dengan pulasan make up ataupun baju ketat. Dia berdandan layaknya manusia biasa. Apakah itu juga masih mengundang hasrat para lelaki?
Sore menjelang malam, ketika Kasih bersiap untuk pulang, seorang lelaki datang ke kiosnya. Penampilannya cukup berbeda dari para lelaki yang biasanya datang ke kios Kasih yang didominasi oleh bapak-bapak. Kali ini, lelaki itu terlihat lebih muda dengan tubuh proporsional serta rambut gondrong yang diikat rapi ke belakang. Dia juga mengenakan kalung emas yang menjadi perhatian Kasih untuk pertama kalinya. Bibir lelaki itu melengkung ke atas, sambil mengulurkan tangannya dan memberi tahu namanya. Sanding, begitulah dia memperkenalkan dirinya. Masih dengan raut wajah heran, Kasih membalas uluran tangannya.
“Dik Kasih teruskan saja beberesnya, nanti kita ngobrol sambil jalan.” Sanding berbicara sambil melemparkan senyuman.
Kasih tidak memikirkan apapun. Dia hanya mengangguk lalu membawa tas jinjing dan berjalan keluar setelah pintu kiosnya ditutup. Kasih tidak tahu siapa lelaki di sampingnya, yang jelas lelaki itu tidak terlihat memiliki niat untuk menyentuh Kasih atau mempersempit jarak di antara keduanya. Selama perjalanan itu, Sanding juga menanyakan seputar jajanan yang dijual
Kasih dan juga keadaan pasar, bukan menyangkut fisik Kasih yang biasa ditanyakan oleh orang lain.
“Sepertinya kamu idaman orang pasar, ya?” tanya Sanding yang sedikit menyenggol tentang eksistensi Kasih di pasar tersebut. Kasih hanya mengangkat alis dan menampakkan wajah terkejutnya saja. Baru kali ini Kasih melihat Sanding tapi lelaki muda itu sudah tahu tentang Kasih dan keberadaannya di pasar. “Saya tidak sengaja dengar dari para bapak-bapak yang lewat, meskipun saya tidak pernah ke pasar tetapi gosip tentang kamu sudah menyebar dan akan mudah terdengar.” Sanding mencoba menjelaskan sebelum Kasih bertanya.
Kasih sendiri tidak banyak bereaksi atau berbicara dengan Sanding. Hanya seperlunya ketika Sanding bertanya, maka Kasih akan menjawab. Sampai di depan gang rumah Kasih, mereka berhenti di bawah lampu jalan yang sudah dinyalakan. Rautnya canggung menatap Sanding yang berdiri di depannya. Sanding tertawa kecil melihat wajah Kasih. Dia paham bahwa Kasih tidak mau berjalan sampai rumahnya bersama dengan Sanding.
“Mas Sanding pulang saja. Rumah saya sudah dekat.” Ucap Kasih dengan tangan yang menunjuk jalan gang sempit itu.
“Iya. Besok saya temani pulang lagi, deh. Saya juga pengen kenal dekat sama kamu.” Setelahnya Sanding langsung berlalu pergi dengan melambaikan tangan. Perasaan Kasih kini tidak karuan. Kasih sendiri langsung mempercepat langkah untuk sampai ke rumahnya. Dadanya berdegup kencang. Sejujurnya pipi putihnya sudah merona sejak beberapa langkah ia dan Sanding keluar dari pasar. Kasih benar-benar merasakan hal yang berbeda dari Sanding jika dibandingkan dengan lelaki lain. Sanding bahkan tidak memuji secara berlebihan tentang kecantikannya dan dia mengajak bicara tentang topik yang tidak pernah Kasih duga akan dibicarakan dengannya. Semua lelaki yang pernah modus mengajak Kasih pulang berdua selalu menggoda tentang fisiknya dan hanya membicarakan hal itu-itu saja. Kalau tidak tentang kecantikan, ya tubuhnya yang langsing. Sangat berbeda daripada Sanding yang terkadang melemparkan humor meskipun tidak berhasil membuat Kasih tertawa. Sanding menepati kata-katanya. Hari selanjutnya, dia datang kembali ke kios Kasih dan mengantarnya pulang. Berbagai obrolan mulai terbangun perlahan. Kasih tidak secanggung saat pertama kali mereka bertemu. Bahkan di hari-hari yang sudah dilewati dengan pulang bersama Sanding, Kasih merasa semakin nyaman dengan lelaki itu. Mereka berdua bahkan sudah saling bertukar nomor ponsel untuk saling berhubungan. Kasih mulai tidak sabar menunggu sore hari tiba, bersama dengan Sanding yang muncul dengan senyumannya. Kasih telah menunggu. Sanding datang dengan wajah segar dan lengkungan di bibirnya. Kasih menyambut kedatangan lelaki itu dengan hati yang senang. Tiba-tiba rasa lelahnya tergantikan oleh rasa gembira yang merasuki hatinya. Sanding masih seperti biasanya. Bahkan dia tampak lebih banyak melontarkan lelucon yang sudah bisa membuat Kasih tertawa. Hari itu juga, Kasih mengajak Sanding untuk mampir ke rumahnya. Dia berniat mengenalkan lelaki itu pada tempat tinggalnya karena selama ini, Sanding hanya tahu gang kecil tempat mereka berpisah setelah Sanding mengantarkan Kasih.
Sanding mulai melangkah ke dalam rumah Kasih. Rumah yang sederhana namun bersih dan rapi. Sanding kemudian mengeluarkan kantong plastik dari tas yang dibawanya. Isinya adalah bakso kuah yang masih panas dan terlihat menggiurkan. Mata Kasih berbinar. Sudah
lama dia tidak makan bakso karena tidak pernah sempat membeli. Jadilah bakso yang diletakkan Sanding di meja itu terlihat seperti emas di mata Kasih.
“Ini bakso untuk kamu. Saya sudah sering ketemu kamu tapi tidak pernah bawa apa apa. Sekarang kebetulan diajak mampir ke rumahmu dan saya bawa sesuatu. Walaupun cuma bakso, sih.” Sanding membuka tali plastik bakso tersebut dan menuangkannya ke dalam mangkuk yang telah diambil oleh Kasih. Terlihat asap langsung menguar bersama dengan kuah bakso yang menyiram mi dan bulatan daging sapi itu di dalam mangkuk. Tidak lupa juga Kasih membuat segelas teh hangat untuknya dan Sanding.
Mereka berdua makan dengan tenang. Sesekali Sanding melontarkan pertanyaan ringan atau lelucon lagi. Sanding juga senang bisa duduk berdua bersama dengan Kasih. Ia melihat binar di mata Kasih. Kadang kala tangan Sanding terulur untuk membersihkan noda di bibir Kasih dengan tisu dan hal tersebut memicu rona merah muncul di pipi Kasih. Lahapnya Kasih dalam memakan bakso juga membuat Sanding tersenyum lega. Misinya telah berjalan dan ia tinggal menunggu saja. Sanding terus membawa Kasih ke dalam pembicaraan yang santai. Tidak lupa ia menyuruh Kasih untuk memakan baksonya agar tidak dingin. Maka wanita itu menurut sampai bakso di mangkuk Kasih habis. Perlahan, Sanding melihat Kasih yang mulai terlihat pucat dan tangannya memegang kepalanya. Saat beranjak dari kursinya, Kasih langsung ambruk ke belakang. Tubuhnya langsung ditangkap oleh Sanding dan digendong menuju kamar.
Sanding menidurkan tubuh Kasih di Kasur. Dia lalu melihat sekitaran rumah Kasih yang sepi lalu menutup pintu rumah Kasih. Sanding kemudian menuju kamar Kasih dan melihat gadis itu dari dekat. Sekarang, dia dapat melihat betapa cantiknya Kasih seperti yang dikatakan orang-orang di pasar. Kini Sanding dapat melihat dari dekat wanita yang sudah diamatinya sejak satu bulan. Hasil pengamatannya membuahkan hasil. Mengambil hati Kasih untuk dinikmatinya sendirian ternyata tidak sesulit itu. Tangan Sanding mulai bergerak ke setiap inci tubuh Kasih. Helaian kain yang menutupi tubuh Kasih mulai terlepas dan menyisakan kulit putihnya saja.
Sanding benar-benar menikmati tubuh Kasih bagai singa yang menyantap buruannya. Matanya tajam menatap kecantikan Kasih yang terpancar meskipun kini dia tidak sadarkan diri. Tangannya lincah berpindah kemanapun dia mau. Kulitnya benar-benar selembut sutra seperti yang dibicarakan bapak-bapak di pasar. Kini Sanding benar-benar membuktikannya sendiri. Malam pembuktian itu berlalu cepat hingga Sanding sudah tidak lagi merasakan kenikmatan itu. Sanding merapikan kembali penampilannya dan keluar dari rumah Kasih melalui pintu belakang, meninggalkan Kasih yang masih tidak sadarkan diri.
Pada hari selanjutnya, Kasih terbangun kala matahari yang sudah panas menembus ventilasi di kamar Kasih. Tubuhnya tertutup selimut, namun dia bisa merasakan bahwa tidak ada sehelai kain pun yang menutupi tubuhnya. Jantung Kasih berdetak cepat. Tenaganya seperti sudah terkuras habis sampai dia tidak mampu bangun dari posisi tidurnya. Air matanya meluruh secara tiba-tiba. Kasih memaksa tubuhnya untuk bangun. Dia melihat tubuhnya di depan kaca yang sudah kotor di pikirannya. Kulit putihnya bagai kanvas yang penuh gambar abstrak. Kasih mendadak linglung. Ia keluar kamar dan melihat mangkuk yang masih di atas meja. Kasih sadar dengan apa yang terjadi. Lelaki bernama Sanding itu telah memperkosa Kasih. Tangan Kasih meraih ponsel yang ada di meja kemudian berusaha menelpon nomor yang bertuliskan nama Sanding di sana. Tidak ada jawaban apapun kecuali suara wanita yang memberikan informasi bahwa nomor itu sudah tidak aktif. Kini Kasih benar-benar sadar bahwa dia telah dibohongi. Kebaikan yang ditampilkan Sanding hanyalah dusta untuk menutupi niat jahatnya. Tangan Kasih mulai menjambak rambutnya sendiri dan memukuli kepalanya. Kakinya menendang meja yang menyebabkan mangkuk dan gelas di atasnya pecah.
“Aku diperkosa?” Kasih bermonolog dengan suara rendah.
“Aku diperkosa?!”
“Aku diperkosa!”
“AKU DIPERKOSA!!”
Suara Kasih mulai mengundang tetangga datang ke sumber suara. Mereka mendekat ke arah rumah Kasih. Tiba-tiba Kasih membuka pintu dan keluar tanpa ada sehelai kain yang menempel di tubuhnya. Para tetangga itu langsung menangkap Kasih dan membawanya masuk ke rumah, kemudian memakaikan baju seadanya. Akan tetapi, Kasih tetap meronta dan berlari keluar. Mulutnya berkata hal yang sama dan membuat para tetangga berkecamuk dengan pikiran serta kesimpulannya sendiri. Kasih berlari dengan cepat bahkan banyak orang yang mengejarnya tidak bisa menangkap wanita itu. Dia berlari menuju pasar dan berteriak kepada orang-orang di sana. Memberi tahu bahwa dia telah diperkosa oleh Sanding hingga membuat semua orang terkejut. Berbagai pertanyaan, kesimpulan, dan spekulasi baru muncul kembali.
“AKU DIPERKOSA OLEH SANDING!! AKU DIPERKOSA!” Kasih berteriak di tengah pasar. Kadang sambil tertawa dan terkadang menangis. Dia berlarian kesana-kemari. Berusaha ditahan, namun tetap tidak bisa.
“BAWA SANDING KEMARI!! DIA HARUS BERTANGGUNGJAWAB! AKU DIPERKOSA OLEHNYA!!!” begitu teriakan Kasih yang terus berulang. Kasih terus berlarian kemanapun. Memutari pasar, di jalanan, ke rumahnya, dan menghilang sampai tidak diketahui kabarnya maupun ditemukan raganya hingga saat ini.
****