Selasa, 13 Juni 2023

SELASA SASTRA - CERPEN "Kisah Kasih yang Hilang"

Kisah Kasih yang Hilang

Penulis: Nisam Putri Sabila   

 Foto : Bungawan

     Tak ada satupun orang di pasar yang tidak mengenal Kasih. Pedagang jajanan pasar  yang selalu diagung-agungkan oleh pembeli, terutama kaum adam. Mulai dari lelaki remaja  hingga yang sudah tidak muda selalu membeli jajanan pasar yang dilabeli paling murah di pasar  tersebut. Para lelaki tidak mau kalah rebutan untuk menyentuh tangan lembut Kasih dengan  berbagai cara, baik sengaja maupun tidak disengaja. Kaum adam itu bahkan lebih  memperhatikan Kasih, daripada memperhatikan kue yang dimasukkan ke kantong plastik  ataupun uang yang diberikan kepada penjualnya. 

    Kecantikan Kasih tidak selalu membawa kebahagiaan bagi seseorang. Selama  berdagang, tidak jarang Kasih mendengar ocehan wanita lain, terutama ibu-ibu yang memaki  Kasih karena berjualan hanya bermodal cantik saja. Kasih juga sering dilempari kata-kata kasar  yang cukup membuat Kasih sakit hati. Namun hal tersebut hanya dibiarkan begitu saja oleh  Kasih. Dia tidak mendebat balik atau membela diri karena tidak ingin pertikaian berlanjut lebih  lama.

    Kasih sendiri cukup risih dengan para lelaki itu. Meskipun sudah berusaha menghindar  dari godaan dan rayuan, Kasih tetap tidak bisa menghindar selama penampilan cantiknya masih  utuh. Kasih sendiri sudah muak dengan para istri yang terus memaki Kasih karena menggoda  suaminya. Kasih juga sudah lelah menerima peringatan bahwa dia harus menutupi  kecantikannya yang bisa menggugah hasrat lelaki. Bahkan, baru saja Kasih menerima kabar  bahwa ada salah seorang pedagang pasar sebelah yang terkena pelecehan di jalan karena  penampilan fisiknya yang menggoda. Rasa takut sebenarnya sudah mulai muncul di dalam  benak Kasih, namun dia juga mempertanyakan, apakah kecantikannya itu berbahaya dan  membawa malapetaka? Mengapa juga kecantikannya bisa mengundang hasrat para lelaki?  Apakah orang cantik itu berdosa? Toh Kasih merasa tidak pernah berjualan dengan pulasan  make up ataupun baju ketat. Dia berdandan layaknya manusia biasa. Apakah itu juga masih  mengundang hasrat para lelaki? 

    Sore menjelang malam, ketika Kasih bersiap untuk pulang, seorang lelaki datang ke  kiosnya. Penampilannya cukup berbeda dari para lelaki yang biasanya datang ke kios Kasih  yang didominasi oleh bapak-bapak. Kali ini, lelaki itu terlihat lebih muda dengan tubuh  proporsional serta rambut gondrong yang diikat rapi ke belakang. Dia juga mengenakan kalung  emas yang menjadi perhatian Kasih untuk pertama kalinya. Bibir lelaki itu melengkung ke atas,  sambil mengulurkan tangannya dan memberi tahu namanya. Sanding, begitulah dia  memperkenalkan dirinya. Masih dengan raut wajah heran, Kasih membalas uluran tangannya.  

    “Dik Kasih teruskan saja beberesnya, nanti kita ngobrol sambil jalan.” Sanding  berbicara sambil melemparkan senyuman. 

    Kasih tidak memikirkan apapun. Dia hanya mengangguk lalu membawa tas jinjing dan  berjalan keluar setelah pintu kiosnya ditutup. Kasih tidak tahu siapa lelaki di sampingnya, yang  jelas lelaki itu tidak terlihat memiliki niat untuk menyentuh Kasih atau mempersempit jarak di  antara keduanya. Selama perjalanan itu, Sanding juga menanyakan seputar jajanan yang dijual
Kasih dan juga keadaan pasar, bukan menyangkut fisik Kasih yang biasa ditanyakan oleh orang  lain.  

    “Sepertinya kamu idaman orang pasar, ya?” tanya Sanding yang sedikit menyenggol  tentang eksistensi Kasih di pasar tersebut. Kasih hanya mengangkat alis dan menampakkan  wajah terkejutnya saja. Baru kali ini Kasih melihat Sanding tapi lelaki muda itu sudah tahu  tentang Kasih dan keberadaannya di pasar. “Saya tidak sengaja dengar dari para bapak-bapak  yang lewat, meskipun saya tidak pernah ke pasar tetapi gosip tentang kamu sudah menyebar  dan akan mudah terdengar.” Sanding mencoba menjelaskan sebelum Kasih bertanya.  

    Kasih sendiri tidak banyak bereaksi atau berbicara dengan Sanding. Hanya seperlunya  ketika Sanding bertanya, maka Kasih akan menjawab. Sampai di depan gang rumah Kasih,  mereka berhenti di bawah lampu jalan yang sudah dinyalakan. Rautnya canggung menatap  Sanding yang berdiri di depannya. Sanding tertawa kecil melihat wajah Kasih. Dia paham  bahwa Kasih tidak mau berjalan sampai rumahnya bersama dengan Sanding.  

    “Mas Sanding pulang saja. Rumah saya sudah dekat.” Ucap Kasih dengan tangan yang  menunjuk jalan gang sempit itu.
    “Iya. Besok saya temani pulang lagi, deh. Saya juga pengen kenal dekat sama kamu.”  Setelahnya Sanding langsung berlalu pergi dengan melambaikan tangan. Perasaan Kasih kini tidak karuan. Kasih sendiri langsung mempercepat langkah untuk  sampai ke rumahnya. Dadanya berdegup kencang. Sejujurnya pipi putihnya sudah merona  sejak beberapa langkah ia dan Sanding keluar dari pasar. Kasih benar-benar merasakan hal  yang berbeda dari Sanding jika dibandingkan dengan lelaki lain. Sanding bahkan tidak memuji  secara berlebihan tentang kecantikannya dan dia mengajak bicara tentang topik yang tidak  pernah Kasih duga akan dibicarakan dengannya. Semua lelaki yang pernah modus mengajak  Kasih pulang berdua selalu menggoda tentang fisiknya dan hanya membicarakan hal itu-itu  saja. Kalau tidak tentang kecantikan, ya tubuhnya yang langsing. Sangat berbeda daripada  Sanding yang terkadang melemparkan humor meskipun tidak berhasil membuat Kasih tertawa.  Sanding menepati kata-katanya. Hari selanjutnya, dia datang kembali ke kios Kasih dan  mengantarnya pulang. Berbagai obrolan mulai terbangun perlahan. Kasih tidak secanggung  saat pertama kali mereka bertemu. Bahkan di hari-hari yang sudah dilewati dengan pulang  bersama Sanding, Kasih merasa semakin nyaman dengan lelaki itu. Mereka berdua bahkan  sudah saling bertukar nomor ponsel untuk saling berhubungan. Kasih mulai tidak sabar  menunggu sore hari tiba, bersama dengan Sanding yang muncul dengan senyumannya.  Kasih telah menunggu. Sanding datang dengan wajah segar dan lengkungan di  bibirnya. Kasih menyambut kedatangan lelaki itu dengan hati yang senang. Tiba-tiba rasa  lelahnya tergantikan oleh rasa gembira yang merasuki hatinya. Sanding masih seperti biasanya.  Bahkan dia tampak lebih banyak melontarkan lelucon yang sudah bisa membuat Kasih tertawa.  Hari itu juga, Kasih mengajak Sanding untuk mampir ke rumahnya. Dia berniat mengenalkan  lelaki itu pada tempat tinggalnya karena selama ini, Sanding hanya tahu gang kecil tempat  mereka berpisah setelah Sanding mengantarkan Kasih.  

    Sanding mulai melangkah ke dalam rumah Kasih. Rumah yang sederhana namun bersih  dan rapi. Sanding kemudian mengeluarkan kantong plastik dari tas yang dibawanya. Isinya  adalah bakso kuah yang masih panas dan terlihat menggiurkan. Mata Kasih berbinar. Sudah

lama dia tidak makan bakso karena tidak pernah sempat membeli. Jadilah bakso yang  diletakkan Sanding di meja itu terlihat seperti emas di mata Kasih.  
    “Ini bakso untuk kamu. Saya sudah sering ketemu kamu tapi tidak pernah bawa apa apa. Sekarang kebetulan diajak mampir ke rumahmu dan saya bawa sesuatu. Walaupun cuma  bakso, sih.” Sanding membuka tali plastik bakso tersebut dan menuangkannya ke dalam  mangkuk yang telah diambil oleh Kasih. Terlihat asap langsung menguar bersama dengan kuah  bakso yang menyiram mi dan bulatan daging sapi itu di dalam mangkuk. Tidak lupa juga Kasih  membuat segelas teh hangat untuknya dan Sanding.  

    Mereka berdua makan dengan tenang. Sesekali Sanding melontarkan pertanyaan ringan  atau lelucon lagi. Sanding juga senang bisa duduk berdua bersama dengan Kasih. Ia melihat  binar di mata Kasih. Kadang kala tangan Sanding terulur untuk membersihkan noda di bibir  Kasih dengan tisu dan hal tersebut memicu rona merah muncul di pipi Kasih. Lahapnya Kasih  dalam memakan bakso juga membuat Sanding tersenyum lega. Misinya telah berjalan dan ia  tinggal menunggu saja. Sanding terus membawa Kasih ke dalam pembicaraan yang santai.  Tidak lupa ia menyuruh Kasih untuk memakan baksonya agar tidak dingin. Maka wanita itu  menurut sampai bakso di mangkuk Kasih habis. Perlahan, Sanding melihat Kasih yang mulai  terlihat pucat dan tangannya memegang kepalanya. Saat beranjak dari kursinya, Kasih  langsung ambruk ke belakang. Tubuhnya langsung ditangkap oleh Sanding dan digendong  menuju kamar.  

    Sanding menidurkan tubuh Kasih di Kasur. Dia lalu melihat sekitaran rumah Kasih  yang sepi lalu menutup pintu rumah Kasih. Sanding kemudian menuju kamar Kasih dan  melihat gadis itu dari dekat. Sekarang, dia dapat melihat betapa cantiknya Kasih seperti yang  dikatakan orang-orang di pasar. Kini Sanding dapat melihat dari dekat wanita yang sudah  diamatinya sejak satu bulan. Hasil pengamatannya membuahkan hasil. Mengambil hati Kasih  untuk dinikmatinya sendirian ternyata tidak sesulit itu. Tangan Sanding mulai bergerak ke  setiap inci tubuh Kasih. Helaian kain yang menutupi tubuh Kasih mulai terlepas dan  menyisakan kulit putihnya saja.  

    Sanding benar-benar menikmati tubuh Kasih bagai singa yang menyantap buruannya.  Matanya tajam menatap kecantikan Kasih yang terpancar meskipun kini dia tidak sadarkan  diri. Tangannya lincah berpindah kemanapun dia mau. Kulitnya benar-benar selembut sutra  seperti yang dibicarakan bapak-bapak di pasar. Kini Sanding benar-benar membuktikannya  sendiri. Malam pembuktian itu berlalu cepat hingga Sanding sudah tidak lagi merasakan  kenikmatan itu. Sanding merapikan kembali penampilannya dan keluar dari rumah Kasih  melalui pintu belakang, meninggalkan Kasih yang masih tidak sadarkan diri.  

    Pada hari selanjutnya, Kasih terbangun kala matahari yang sudah panas menembus  ventilasi di kamar Kasih. Tubuhnya tertutup selimut, namun dia bisa merasakan bahwa tidak  ada sehelai kain pun yang menutupi tubuhnya. Jantung Kasih berdetak cepat. Tenaganya  seperti sudah terkuras habis sampai dia tidak mampu bangun dari posisi tidurnya. Air matanya  meluruh secara tiba-tiba. Kasih memaksa tubuhnya untuk bangun. Dia melihat tubuhnya di  depan kaca yang sudah kotor di pikirannya. Kulit putihnya bagai kanvas yang penuh gambar  abstrak. Kasih mendadak linglung. Ia keluar kamar dan melihat mangkuk yang masih di atas  meja. Kasih sadar dengan apa yang terjadi. Lelaki bernama Sanding itu telah memperkosa  Kasih. Tangan Kasih meraih ponsel yang ada di meja kemudian berusaha menelpon nomor yang bertuliskan nama Sanding di sana. Tidak ada jawaban apapun kecuali suara wanita yang  memberikan informasi bahwa nomor itu sudah tidak aktif. Kini Kasih benar-benar sadar bahwa  dia telah dibohongi. Kebaikan yang ditampilkan Sanding hanyalah dusta untuk menutupi niat  jahatnya. Tangan Kasih mulai menjambak rambutnya sendiri dan memukuli kepalanya.  Kakinya menendang meja yang menyebabkan mangkuk dan gelas di atasnya pecah.  

    “Aku diperkosa?” Kasih bermonolog dengan suara rendah.
    “Aku diperkosa?!”  
    “Aku diperkosa!”
    “AKU DIPERKOSA!!”  

    Suara Kasih mulai mengundang tetangga datang ke sumber suara. Mereka mendekat ke  arah rumah Kasih. Tiba-tiba Kasih membuka pintu dan keluar tanpa ada sehelai kain yang  menempel di tubuhnya. Para tetangga itu langsung menangkap Kasih dan membawanya masuk  ke rumah, kemudian memakaikan baju seadanya. Akan tetapi, Kasih tetap meronta dan berlari  keluar. Mulutnya berkata hal yang sama dan membuat para tetangga berkecamuk dengan  pikiran serta kesimpulannya sendiri. Kasih berlari dengan cepat bahkan banyak orang yang  mengejarnya tidak bisa menangkap wanita itu. Dia berlari menuju pasar dan berteriak kepada  orang-orang di sana. Memberi tahu bahwa dia telah diperkosa oleh Sanding hingga membuat  semua orang terkejut. Berbagai pertanyaan, kesimpulan, dan spekulasi baru muncul kembali.  
    “AKU DIPERKOSA OLEH SANDING!! AKU DIPERKOSA!” Kasih berteriak di  tengah pasar. Kadang sambil tertawa dan terkadang menangis. Dia berlarian kesana-kemari.  Berusaha ditahan, namun tetap tidak bisa.  
    “BAWA SANDING KEMARI!! DIA HARUS BERTANGGUNGJAWAB! AKU  DIPERKOSA OLEHNYA!!!” begitu teriakan Kasih yang terus berulang. Kasih terus berlarian  kemanapun. Memutari pasar, di jalanan, ke rumahnya, dan menghilang sampai tidak diketahui  kabarnya maupun ditemukan raganya hingga saat ini.

****

Senin, 12 Juni 2023

HIBAH BUKU

     
Student Multicultural Center - UNSTRAT membuka kembali perpustakaan. Setelah sekian lama perpustakaan UNSTRAT terkesan hidup segan mati tak mau, tahun ini Departemen Perpusdok kembali membuka perpustakaan UNSTRAT untuk umum, tahun ini kegiatan perpustakaan di fokuskan tidak lagi di gelanggang mahasiswa tetapi kembali ke sekretariatan UNSTRAT Student Multicultural Center Universitas Negeri Yogyakarta Lantai 3 Sayap Kanan.  

 

Halo sobat UNSTRAT 🙌🏻

Kami dari Departmen Perpusdok & Litbang akan mengadakan penerimaan Hibah Buku yang akan dilaksanakan pada :
Hari Senin 12 Juni 2023 sampai dengan Minggu 18 Juni 2023 jam 12.00 siang di Perpus UNSTRAT Student Center UNY.

Ditunggu Partisipasinya 🙌🏻✨✨✨


#DAYACIPTA #LEBIHBAIKPERPUS #MARIMEMBACA #LITERASI #HIBAHBUKU #UNSTRAT

Selasa, 06 Juni 2023

SELASA SASTRA - CERPEN "Entah Bagaimana Nanti, Dik."

Entah Bagaimana Nanti, Dik.

Penulis            : Syahdan Hafidh

 
                                                                                          Foto : Nahdhi Vargani
 

                Iqamah telah usai dikumandangkan, segera malam kembali seperti ihwalnya. Dari kursi tempatnya duduk, ia mendengar suara jangkrik dan kodok, seakan saling bercerita tentang bagaimana seharian ini mereka menjalani hidup mereka.

            Mas, seperti biasa kan?tanya seorang wanita yang suaranya tak lagi asing di telinga Teguh. Wanita itu bernama Wiwi, mereka bertemu di warung sate tempat mereka bekerja sekitar tujuh tahun yang lalu, sejak saat itu, mereka bersepakat untuk tetap bersama, hingga saat ini.

Iya, jangan lupa, gulanya satu sendok saja. jawab Teguh.

            Wiwi keluar dengan nampan andalannya. Nampan dari kayu dengan aksen gambar bunga anggrek di tengahnya, di atasnya seperti biasa, dua cangkir teh tubruk beraroma melati dan sepiring biskuit cokelat yang menjadi satu-satunya camilan yang ia yakin betul, dapat memasaknya dengan baik.

Kau sudah dengar lagu terbaru Vina, Wi? tanya Teguh sambil mengangkat cangkirnya.

            Ohh, Iya! tadi aku sempat mendengarnya di radio Mas, banyak sekali pendengar yang meminta diputarkan. Coba aku cari dulu, siapa tahu sampai sekarang masih diputar,ucap Wiwi sambil memutar radio di atas meja terasnya itu. Mereka memang suka mendengar lagu bersama, sejak dari radio di Warung Sate tempat mereka bekerja dulu, hingga berlanjut, mendengarnya dirumah Wiwi lewat radio usang peninggalan Ayahnya dulu.

             Dari arah kejauhan, terdengar suara samar-samar wanita tertawa serta dengungan motor yang semakin jelas. Sorot lampunya semakin mendekat ke arah mereka, melintasi lubang demi lubang yang sudah benar-benar diluar kepala mereka. Tibalah motor itu di depan rumah.

Terimakasih ya Ko, sudah mengantarkan”

Iya Ti, sama-sama. Besok kita jadi? tanya Eko,

             Wajah Narti sedikit kaget dan langsung memandang tak enak pada kakaknya dan Teguh yang sedang di depan rumah.


Jangan keras-keras Ko, perihal itu besok aku saja yang ke tempatmu.” katanya pada Eko.

 

Yasudah kalau begitu, aku pulang dulu, perlu turun dan salaman pada kakakmu? tanya

Eko,

 

Sudah, tak perlu Ko, nanti aku saja yang pamitan ke mereka, jawab Narti lugas.

 

             Eko pun beranjak pergi sambil sedikit tersenyum ke arah Wiwi dan Teguh sebagai salam perpisahan. Bagi Narti, selama ada kakaknya di rumah, Narti belum pernah mempersilahkan Eko     untuk mampir, entah karena malu atau apa. Walau begitu, sudah hampir setahun Eko mengantar dan kadang menjemput Narti, dan selama itu pula Narti tak pernah menjawab serius pertanyaan kakaknya perihal Eko.

Eko tidak kau ajak mampir, Nar ? tanya Wiwi,

            Oh, tidak mbak, dia harus bergegas bantu ibunya, membeli sayur katanya,jawab Narti sambi sedikit tersenyum pada Teguh lalu terburu-buru masuk kedalam seperti menghindari pembicaraannya dengan kakaknya itu.

            Memangnya dimana Wi yang jual sayur malam begini? tanya Teguh pada Wiwi dengan nada sedikit bercanda,

            Mungkin zaman sudah berubah Mas, Pasar malam kini jual sayuran juga,jawab Wiwi sambil sedikit tertawa dan Teguh menimpali dengan tawanya juga.

             Terpantik hal itu, mereka pun kembali mengenang, mengenang bagaimana ketika dulu mereka dekat dan akhirnya bersama, dari malu-malu ketika menawarkan pulang bersama, lalu beranjak pada kenangan pertama kali Teguh menggenggam tangan Wiwi, hingga akhirnya diam- diam mencuri kesempatan dan berciuman di ujung toko ketika jam tutup toko tiba. Rasanya film telah ditayangkan di kepala mereka, panjang sekali.

              Hingga pada satu waktu dimana mereka saling diam, Wiwi menampakkan raut yang entah apa artinya itu. Mereka berada dalam suasana yang penuh sirat dan entah kapan akan meledak.

Tak selamanya kita seperti ini kan Mas? tanya Wiwi pada lelaki di sampingnya.


            Apa maksudmu ialah duduk disini dan memandang kedalaman malam, di depan rumahmu ini denganmu dan secangkir teh serta kue ini nona?ucap Teguh sambil sedikit tersenyum dan masih mencoba menimpalinya dengan candaan.

            Iya. Pun dengan ketidakjelasan hubungan kita yang semakin berlarut-larut ini Mas. Mata Wiwi begitu dalam, memberi isyarat kuat pada Teguh, bahwa kini film kenangan masa lalu sudah tak lagi diputar di kepalanya.

            Bahwa jika suatu pernikahan, dimana itu ialah satu-satunya hal yang aku inginkan, dapat aku lakukan sendirian Mas, ya benar-benar sendirian dan tak perlu menunggu engkau dengan segala keraguanmu itu, maka mungkin sudah aku lakukan berbulan-bulan lalu Mas. Begitu pula, andai saja aku bertemu dan jatuh hati pada lelaki selain dirimu, yang setidak-tidaknya mau menikahiku.

              Teguh sadar, momen bercanda dan tertawa nya sudah berlalu. Kini waktunya serius. Lagi dan lagi, hanya mengulang hari.

            Wi, kau itu bicara apa, sudah hampir ribuan kali kan kita membahas hal ini, ribuan kali juga Mas menanggapimu dengan berbagai pertimbangan.

            Hari demi hari juga, usiaku sudah semakin matang Mas, wanita-wanita seumuranku di kampung ini sudah memiliki momongan bahkan cucu. Aku dan tubuhku juga sudah merasa siap untuk menikah dan memiliki anak. Aku hanya tak mau Mas, aku bak buah mangga yang terlalu matang dan tak sempat disantap, hingga jatuh ke tanah dan terlupakan.ucap Wiwi dengan mata memandang yang entah kemana itu.

Ada waktunya Wi, tidak sekarang. balas Teguh singkat.

            Waktu yang memberikan kita kesempatan Mas, kemarin, esok atau sekarang tak ada bedanya, yang kau lakukan hanya menunda. Kita itu bukan pemilik waktu Mas, yang bisa kita lakukan ketika ada, ialah melakukan sebaik kita bisa.

            Lalu apa menurutmu kita adalah yang pasti tahu yang mana yang terbaik bagi kita Wi. Mas ingin dan hanya akan menikahimu Wi. Memangnya jika sudah menikah, lalu nanti kau akan ribut soal apa ? ingin anak, lalu setelah punya anak, lalu ingin apa ? punya harta berlimpah, lalu sudah kaya, kau ingin apalagi untuk kau capai Wi? Teguh dengan pikirannya yang sudah sumpek telah bicara lewat mulutnya

            Memang, tak pernah puas itu manusiawi Mas. Pikirkan Mas, apa yang bisa aku lakukan selain hanya menikah? Orang tuaku sudah tiada, aku sudah bekerja, mapan dan cukup, aku memiliki lelaki yang sudah kukenal betul segala apanya. Apa kau berharap aku akan rela mati sebelum aku menikah dan memiliki anak? ucap Wiwi dengan lugas dengan menatap wajah yang mulai menunduk itu.

              Pembahasan soal menikah memang sudah sangat sering mereka perdebatkan. Tak jarang, akhirnya Wiwi memutuskan masuk kedalam tanpa pamit dan hanya mengisyaratkan tangis, tak jarang pula berakhir dengan janji-janji Teguh yang memupuk harapan di hati Wiwi.

              Bagi Teguh, menikahi Wiwi ialah kepastian yang entah kapan, tapi sudah jelas, di hatinya, hanya ada Wiwi semata. Bagi Wiwi, dia merasa tak cukup jika hanya ada dihati, dia ingin namanya di kartu nikah, kartu keluarga, dan semacamnya. Wajar saja, usia mereka terlampau sedikit jauh. Tahun ini, Wiwi sudah hampir berkepala empat, sedang Teguh, baru kemarin menginjak kepala tiga.

            Apa kau sudah yakin Wi?tanya Teguh perlahan, Wiwi hanya melihat ke arah Teguh yang sedang entah kemana pandangannya tertuju.

            Apa kau sudah yakin, bahwa Mas lah lelaki yang kau inginkan. Mengingat kita punya banyak sekali perbedaan, ya walaupun kita selalu bisa berdebat dan mengobrol lalu memaklumi, tapi apa kau benar-benar yakin? aku hanya tak mau menjadi bahan penyesalan mu nantinya.

            Sudah hampir seperempat hidupku, aku habiskan untuk mengenalmu Mas. Selama itu juga, hampir tak ada keraguan untukku memilih dan yakin padamu. Aku sudah dan akan menua Mas, tak ada lagi waktu bagiku untuk mengulang kesenangan dan kehangatan kita di waktu dulu pada lelaki yang lain Mas.

              Suasana malam itu, ya, tepatnya setelah Wiwi mengucapkan kalimat itu, seluruh angin seakan berkumpul dan bersepakat menabrakkannya pada dada Teguh, rasanya sesak sekali, nafasnya seakan ingin keluar melalui matanya menjelma tetesan. Ujung kepalanya seperti disambar petir, lalu bergetar seluruh tubuhnya, dan runtuh.


            Mas akan pulang. Kau istirahat Wi, esok kau harus bersih-bersih rumah, mencuci piring dan gelas, lalu bersiap-siap dengan dirimu. Esok lusa Mas akan datang kembali, dan rumahmu akan menjadi tempat, dimana engkau akan menikah denganku.

               Segalanya. Itu kata yang mungkin menggambarkan atas apa yang dirasakan Wiwi malam itu. Adalah rasa, yang dia tunggu-tunggu selama ini. Rasanya lebih dahsyat mungkin, ketimbang apa yang dirasakan Teguh tadi. Mungkin tak hanya angin kali ini yang menabrak dada Wiwi malam itu. Jika pintar melihat, mungkin hal-hal gaib juga ikut bersorak dan menepuk pundak Wiwi, mungkin bahkan memeluk. Napasnya menarik panjang, matanya lebar terbuka penuh arti, telinganya tak lagi bisa peduli pada apa selain Teguh dan ihwalnya, wajahnya seakan mengalami kram sesaat, bagaimana tidak, dengan tiba-tiba beralih dari suasana yang sudah begitu pasrah, lalu tersenyum lebar dan bahagia. Malam itu, seakan menjadi wahyu, bahwa tugasnya menjadi manusia semakin dekat dengan usai.

                Waktu pun berlalu,Sedang mengingat Mbak Wiwi ya mas?tanya Narti mengagetkan Teguh, yang sedang membaca buku hariannya. Aku tahu mas, bahkan sampai saat ini, masih Mbak Wiwi kan Mas pikir?, tak apa mas, setidaknya-tidaknya jika bukan karena cinta, kita bersama karena janji pada Mbak Wiwi yang mengikat kita di akhir hidupnya dulu kan. Aku pun ingat mbak Wiwi pernah berucap padamu, bahwa ada kalanya hidup tak lagi terus mengembara Guh, tak lagi terus menerjang kemungkinan-kemungkinan, istirahatlah.

                Teguh tak membalas satu ucap pun. Kejadian itu sudah berlalu bertahun-tahun sebelum anak mereka Fatah lahir. Entah bagaimana cara menuliskannya, mengingat bagaimana sore itu terjadi. Semuanya telah dikabulkan, tinggal menunggu hidup sehari lagi, dan dia akan menikah. Tapi tidak, dia memilih untuk mati dan mengikat Teguh dan Narti dalam suatu hubungan yang disebut pernikahan.

                Aku mungkin memang tidak jadi menikah, tapi bukan karena aku atau lelakiku yang belum siap. Kalian berdua menikahlah untukku, ada kalanya hidup tak lagi terus mengembara, tak lagi terus menerjang kemungkinan-kemungkinan, istirahatlah.

POPULER