Selasa, 24 Oktober 2023

SELASA SASTRA "Tiada Terang"

 Tiada Terang
Karya Elang Mahessa


Dalam diam, aku memenggal bulan
Menutupi bintang agar tidak bersinar terang
Dalam gelap, aku matikan lampu jalanan
Aku rasa,
Lampu sudah lelah begadang
Tiang sudah lelah berdiri tegak
Aku mencintai gelap
Membenci terang
Karena hatiku sempurna tertikam


SELASA SASTRA "Semesta Yang Hilang"

 

Semesta yang Hilang.

Oleh : Fajar Ramadhan

 

Suatu ketika di tahun 2018.

Gerimis masih setia membasahi bumi, aku yang berada di dalam kedai kopi, duduk dengan gusar sambil menunggu seseorang. Takut jika ia tiba-tiba membatalkan janji. Kususun kata-kata untuk nanti ketika ia sudah datang. Ku edarkan pandanganku ke seluruh sudut kedai ini, dan lengkungan di bibirku terbit, ketika melihat dari arah pintu masuk, seseorang yang aku tunggu datang. Aku melambaikan tangan padanya. Ia tersenyum manis, berjalan mendekatiku, lalu menyapa,

“Hei, maaf aku terlambat,” ia melirik arloji ditangannya, “terlambat 5 menit. Sudah lama?’

Aku menggeleng, “Belum lama banget sih. Gak papa juga, santai aja. Apa kabar?”

“Kabar baik. Kamu?” tangan gadis itu terangkat, bermaksud untuk memanggil pelayan.

“Satu frappe ya, mas.”

“Baik juga, kok.” Tiba-tiba aku merasa kosong.

“Katanya tadi mau bicara sesuatu. Bicara apa?” Aku terdiam, kata-kata yang telah kususun tiba-tiba menguap. Menghilang dari otakku. Ia menatapku, menunggu bibirku mengatakan sesuatu.

“Kalo yang penting, lusa aja sih aku bakal ngomong ke kamu. Terus yang satu lagi, aku mau pergi mendaki di Pangerango. Ekspedisi sama anak Eiger.”

Kutatap matanya berbinar terang, “Aku mau ikut dong, Ver. Pengen kesana.”

“Aku gak ngajak kamu tau.” Aku tertawa, kemudian berdeham, “Soalnya masih jarang ada pendaki yang kesana. Ekspedisinya juga buat nyari jalan. Biar para pendaki yang lain tahu.”

“Ver, yakin mau kesana? Tau kan informasi yang beredar tentang gunung itu?.”

“Udah tau kok.” Aku menyesap americano-ku yang mulai dingin.

“Udah tau sendiri kan itu jalur yang jarang dilewati sama pendaki. Banyak yang bilang juga ada macannya disana, belum lagi yang mistis-mistis gitu. Gak ah, gak boleh.” Aku menangkap ada nada khawatir yang sangat kentara dalam kalimatnya.

“Tenang aja ya, aku ga berangkat sendiri kok. Ada yang lain juga. Ditambah, nanti di puncaknya bakal aku kasih sesuatu buat kamu.” Aku tersenyum meyakinkan gadis itu.

“Tenang, tenang. Mau tenang gimana orang tau sendiri kan bahaya, masih nekat aja kesana. Jangan ya, Ver.” Aku hampir tertawa, ketika muka gadis itu dibuat memelas.

Aku hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi pelayan datang dan mengintrupsi obrolan kami berdua. Pelayan itu meletakkan secangkir latte yang dipesan Gleeva.

“Terima kasih.” Ucap Gleeva, ramah. Kutatap gadis itu, ia menyesap minumannya. Enggan menatapku balik. Dia merajuk, aku tersenyum penuh arti.

“Hei, Gleev.”

“Hmm.”

“Gleeva cantik, maaf ya. Kamu izinin atau enggakpun aku bakal tetep kesana. Jujur aja, aku pengen nantang diriku sendiri disana. Toh, semua peralatan udah aku kasih ke basecamp.”

“Iya pergi aja, gak papa.”

Masih merajuk.

“Gleev, liat aku coba.” Aku menunggu tanpa mengulurkan tanganku ke pipinya. Satu aturan darinya sejak kami mulai mengenal satu sama lain, dilarang bersentuhan. Dengan perlahan, tatapannya mulai diarahkan ke mataku.

“Gleev, kamu marah?” hening. Gadis itu masih tidak bergeming.

“Gleeva, jangan marah ya. Aku ga suka deh kamu marah. Manisnya luntur.” Aku mengerling ketika dia menatapku tajam.

“Yaudah, Ver. Terserah kamu deh. Tapi janji ya sama aku.”

“Janji apa?”

“Janji kalo kamu bakal pulang dengan selamat?”

Aku mengangguk mantap, “Aku janji.”

Gadis itu mulai menyesap kembali latte-nya, aku kembali mengedarkan pandanganku. Tampak diluar sana, langit mulai cerah setelah gelap menguasainya. Mentari juga kembali dari tempat persembunyiannya. Hujan sudah pergi rupanya. Aku beranjak dari tempat dudukku, mengajak gadis itu keluar dari sini, lalu membawanya pulang.

 

 

 

Lusa yang dinanti.

 

“Le, iki meh neng endi to?” Terlihat ibuku menatap dengan penuh tanda tanya.

“Udah buk, tunggu aja nggih. Bentar lagi sampai kok.”

Pak, bentar lagi sulungmu ini akan menyunting seorang wanita. Seandainya saja, bapak masih disini. Apa bapak bakal seneng? Aku menatap langit, seolah-olah sedang mengobrol dengan bapak.

Setengah jam kemudian, kami sampai tujuan. Rumah berwarna cokelat sudah tampak didepan mata kami. Aku membantu ibu berdiri. Berjalan bersama menuju pintu rumah itu. Jantungku mulai berdegup ketika tanganku mengetuk pintu rumah. Seorang wanita paruh baya dengan kerudung berwarna merah hati menyapaku hangat.

“Nak, Verdi! Ini ibuknya Verdi?” Wanita yang kukenal sebagai Tante Salma itu memeluk ibuku dengan ramah.

“Kenalin, Buk. Saya Salma.”

“Buk Salma, saya Dina. Ibuk Verdi.”

“Mari-mari masuk dulu.”

Setelah kami semua duduk di ruang tamu. Seorang laki-laki bertubuh besar dan tinggi, muncul dari dalam rumah. Om Jefri.

“Pa, ini keluarga Verdi datang.”

“Ada apa ini, nak Verdi?” Om Jefri duduk diseberang sana. Jantungku semakin berdegup, aku gugup sekali.

“Tujuan saya kesini, dengan membawa ibuk saya. Mau melamar anak om. Gleeva.” Tampak mereka sangat terkejut mendengar perkataanku.

Om Jefri mengangguk mafhum, “Om mengenal kamu dengan baik, Ver. Jadi, kalo om sih setuju aja. Tapi, keputusan akhir ya tetap ditangan Gleeva. Nah, mama sekarang coba panggil Gleeva kesini.”

Perkataan om Jefri membuatku sedikit tenang, entah kenapa sepertinya Gleeva akan mengiyakan lamaranku. Dan, dia datang. Berjalan dengan raut muka yang aku tidak bisa aritkan. Terbesit sedikit perasaan aneh di dadaku. Tapi segera kutepis.

“Ini mbak, temen kamu. Verdi, dia ngelamar kamu. Astaga, anak mama udah gede sekarang ya.” Kata-kata tante Salma membuat semua orang yang diruangan ini tertawa. Terkecuali aku dan gadis diseberang sana.

“Jadi mbak gimana? Mau apa gak?” tanya om Jefri. Aku menatap dia lekat. Berharap banyak pada takdir.

“Aku tau, Verdi orangnya baik. Baik banget malah. Menghormati aku juga.” Perasaan aneh tadi muncul kembali, aku menarik nafas dalam-dalam berusaha tetap tenang.

“Tapi, maaf banget. Ma, pa, tante Dina, Ver. Aku gabisa nerima.”

Sesuatu yang perih tercipta disana.

“Tapi mbak, kan bisa dijalanin dulu. Kalian juga sering kan bareng-bareng gitu.” Bujuk tante.

Aku tersenyum, “Gak papa tan, om. Perasaan ga bisa dipaksa. Saya hormati keputusan Gleeva. Anggep aja ini baru percobaan pertama. Besok-besok bakal saya coba lagi sampe Gleeva capek dan akhirnya setuju.” Ucapku berusaha bercanda.

Ah, aku teringat sesuatu.

“Oh iya, tan, om, buk. Sekalian saya mau pamitan juga, besok pagi, saya berangkat mendaki ke Pangerango. Minta restunya semoga lancar.” Aku mencuri pandang ke arah Gleeva yang tetap menundukkan kepalanya. Aku beranjak dari dudukku, mendekati arah om Jefri dan tante Salma untuk bersalaman. Tak lupa juga aku mendekati gadis manis itu.

“Gleev, aku pamit ya. Jaga diri selama aku mendaki besok. Assalamualaikum.”

Aku berjalan menjauhi kediaman Gleeva, membantu ibuk berjalan kembali. Berusaha meninggalkan rasa perih itu disini lalu tersenyum. Gleev, aku bakal nunggu kamu.

 

 

 

Pagi menyingsing, aku menatap arlojiku. Keluar dari kamar, lalu berpamitan dengan ibuk. Berjanji akan pulang dengan selamat. Dan pergi menuju basecamp. Sampai disana, kulihat para pendaki yang akan berangkat pagi ini telah berkumpul sambil menantiku.

“Lama bener ni bocah.” Ucap salah seorang temanku.

Aku mengabsen satu per satu kawanku. Ada Toni, si kembar Gian dan Bian, Boboho (nama aslinya Putra. Dipanggil boboho mungkin karena kepalanya yang botak, mirip pemain boboho.) Rasaya dan terakhir Haris. Kami berdelapan langsung memasuki mobil untuk melakukan perjalan ke desa yang berada tepat di lereng gunung Pangerango. 8 jam melakukan perjalanan, akhirnya kami sampai di desa tersebut. Karena penat menguasai tubuh, kami memutuskan untuk beristirahat di salah satu rumah warga desa tersebut. Namanya, Pak Tisna. Disini, kami disuguhi beberapa makanan yang mampu membuat perut kami kenyang. Selepas itu, kami bersama pamit kepada warga desa. Tapi siapa sangka, empat warga desa yang bernama Dadang, Asep, Ucup, dan Koswara justru mengajukan diri untuk mendaki ke gunung tersebut. Katanya, jarang-jarang warga desa mereka berani untuk mendaki hingga puncak. Kami dengan senang hati menerima mereka.

Perjalanan kami pun, benar benar dimulai. Kami mengambil rute mendaki yang biasanya digunakan oleh para warga desa. Perkiraan perjalanan yang kami tempuh sekitar 12 jam. Lumayan lama dari yang aku kira.

“Mas namanya siapa? Saya lupa tadi padahal udah kenalan ya.” Aku tebak yang bertanya padaku itu, Haris.

“Saya Verdian. Panggil aja Verdi. Mas namanya Haris bukan?” Jawabku ramah.

“Wah, mas inget nama saya ya, hehe. Mas sering muncak?”

Mataku tetap fokus pada medan yang kian curam, sementara bibirku mengobrol dengan Haris.

“Iya sering, enak sih ke gunung. Bikin ketagihan.” Aku jadi teringat pada pengalaman pertamaku waktu mendaki gunung. Tanpa pengalaman juga persiapan mental yang cukup, hanya bermodal janji pada seorang kawan. Aku memutuskan ikut mendaki ke puncak tertinggi di Jawa. Mahameru. Sempat terpikir untuk menyerah karena hipotemia juga maag kronisku sering kumat saat disana. Tapi karena janji lebih penting, aku meluruskan lagi niatku disini dan ketika aku berhasil menjejakkan kakiku di puncak. Hatiku berdesir bangga juga haru. Seorang yang dulunya sangat benci untuk mengiyakan ajakan kawan lain mendaki, sekarang justru malah mencintainya. Dari puncak aku bisa paham bahwa manusia itu tetap kerdil tapi bersikap sombong seolah dirinya paling agung di muka bumi ini.

“Mas hati-hati loh.” Aku mengangguk, lalu kembali fokus pada medan yang semakin curam.

 

  

 

Temaram mulai menyelimuti bumi Nusantara memaksakan kami semua untuk beristirahat. Beberapa dari kami mulai bekerja sesuai tugas. Aku dan Rasaya mencari kayu bakar, Haris, Boboho, dan yang lain bertugas membuat tenda dan menyiapkan masakan. Sambil mencari kayu bakar. Aku menghitung perjalanan kami tersisa 6 jam lagi untuk mencapai puncak. Selepasnya membersihkan diri dan makan, aku merebahkan diri. Menatap langit-langit tenda. Rindu merebak dalam hatiku. Teringat bayang-bayang gadis yang kucinta. Sedang apa dia disana? Apakah aku benar-benar tidak berada dalam hatinya? Kusingkirkan segala pikiran itu, dan berusaha terbang bersama mimpi.

Pukul 01.11, aku terbangun ketika merasa bahwa seseorang membangunkanku. Aku segera merapikan diri, memeriksa kembali carrier-ku takut ada yang tertinggal. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami berkumpul memanjatkan doa agar dimudahkan perjalanan kami di gunung antah berantah ini. Walaupun kantuk masih menguasai tubuhku, aku berusaha mengusirnya dan fokus berjalan. Terkadang hujan gerimis membasahi tanah dan hal itu membuat bebatuan menjadi licin. Salah pijakan saja kami bisa-bisa terjatuh ke jurang disebelah kanan kami. Oleh itu, kerja sama tim benar-benar dibutuhkan.

Aku merasa jantungku kian berdegup ketika salah seorang dari kami mengatakan bahwa puncak tinggal 500 meter lagi. Kulihat kembali arlojiku, menunjukkan pukul 04.43. Sang fajar masih menunggu kami dengan setia di seberang sana sebelum kami benar-benar menunjukkan diri di puncak. Dan, akhirnya kakiku menapaki sang puncak. Rasa bangga dan bahagia kembali bergemuruh didalam hatiku. Aku bergegas mengeluarkan kamera DSLR juga tripod dari carrier-ku.

“Mau ngapain pake kamera segala, Ver?”

“Mau bikin sesuatu buat sang pujaan hati.” Goda Bian. Kurang ajar.

Aku tersenyum simpul sambil menata kembali peralatan yang akan aku gunakan nanti.

05.01. Aku menyiapkan diri, posisiku kuatur sedemikian rupa agar menimbulkan kesan yang apik. Selepas itu, aku mengatakan beberapa kata hingga dirasa cukup, aku mematikan kamera, merapikannya, lalu memasukkannya kembali dalam carrier-ku. Kakiku kulangkahkan mendekati para pendaki yang lain. Bercengkerama dengan segelas kopi hangat yang barusan aku buat. Fajar telah disuguhkan didepan mata kami. Begitu indah dan sangat disayangkan jika dilewatkan begitu saja.

Satu jam telah berlalu, hingga kami memutuskan untuk turun dari puncak. Diperjalanan menuju bawah, kami sangat mudah menemukan jalan pulang. Sebab saat kami menuju ke atas, beberapa orang dari tim bertugas memasang tanda untuk memudahkan tim Eiger pusat dan pemerintah daerah dalam pembuatan jalur resmi. Aku melangkahkan kakiku dengan ringan. Tak sabar untuk segera turun dan kembali pulang. Melihat sang gadisku tercinta. Lengkungan tipis kembali terukir saat pikiranku melayang pada pertemuan kami. Saat dia yang tak sengaja mengucapkan nama terakhirku. Saat dia tersenyum manis mengucapkan namanya yang apik.

Tapi sial, saat aku termenung mengingat beberapa kenangan. Kakiku salah memijak yang mengakibatkan tubuhku terguling di bagian medan yang lumayan curam. Kepalaku terantuk batu. Dan aku baru sadar tentang sesuatu yang paling kuhindari selama 24 tahun ini. Penyakit sialan. Aku meraba bagian kepalaku tadi, kurasakan sesuatu yang basah dan saat itu juga tercium bau anyir. Ternyata selain kepala, kakiku juga terluka. Double kill. Beberapa kawanku berusaha menahan keluarnya cairan merah itu. Tapi aku rasa, nihil. Ia tak akan pernah berhenti.

Kurasakan pandanganku mulai mengabur dan sebelum semuanya tampak gelap. Aku mengucapkan sesuatu, meskipun sangat susah.

“Tolong nanti pas kalian udah sampe kota. Ambil kamera yang ada di tas carrier. Kasih. Ke perempuan yang namanya Gleeva.”

Dan tak lama kemudian, aku merasa gelap dan kosong.

 

 

Enam bulan silam.

Tanjakan yang mereka lalui semakin sulit karena curamnya medan juga licinnya bebatuan yang menjadi pijakan mereka. Namun, semua itu tak ayal membuat mereka patah semangat. Hingga tak lama kemudian, mereka menemukan lahan kosong yang cocok untuk beristirahat. Salah seorang gadis yang tergabung dalam tim pegiat alam tersebut memisahkan diri dari kerumunan. Tampak dari wajahnya, ia sedang menahan sakit. Ketika ia duduk dan menggulung celananya, terlihat kakinya sedikit memar. Melihat itu, seorang lelaki menghampirinya.

“Heh heh! Mau ngapain kesini?” Ucap gadis itu menahan laki-laki itu mendekat.

“Mau bantuinlah. Kaki kamu sakit kan?”

“Gak papa, gausah dibantuin. Nanti malah pegang-pegang kaki aku. Bukan mahram juga.”

Bukannya merasa sombong, tapi baru kali ini bantuan yang ditawarkannya ditolak oleh seorang gadis. Ia mengangguk mafhum.

“Tapi beneran? Atau mau carriernya mbak, saya bawakan?” Tawaran lelaki itu tetap tidak mempan. Gadis itu kembali menggelengkan kepalanya.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan yang dirasa tinggal satu jam lagi. Para pendaki itu mempercepat langkah mereka, karena tak mau tertinggal dengan hadirnya mentari yang akan muncul tiga puluh menit lagi. Hingga akhirnya, perjalanan mereka usai. Mereka berdiri diatas puncak tertinggi, daratan tertinggi sepulau Jawa. Mereka berhasil menaklukan sang Mahameru.

Gadis itu tersenyum bahagia. Rasa bangga menyerbak dalam dirinya.

“Subhanallah. Semestanya indah banget.” Ucap gadis itu membuat, lelaki disebelahnya menoleh.

“Kamu sebut saya indah?”

“Yah kamu lagi.” Gadis itu menatap malas seseorang disebelahnya, “Bukan, ini maksudnya semesta. Bukan nama orang. Emang nama kamu semesta?”

Lelaki itu tersenyum, “Verdian Putra Semesta.”

“Namanya bagus.” Gadis itu kembali tersenyum tanpa menatap semesta yang berada disampingnya, “Kenalin, aku Gleeva. Gleeva Anastasya.”

Tanpa mereka sadari, sesuatu sedang bekerja sama dengan takdir. Menciptakan sebuah rasa. Manusia biasanya menyebut dirinya, cinta.

 

 

Dua belas bulan kemudian.

“Gleeevaaa!” Aku menekan tombol pause pada kamera itu.

“Nonton apa sih? Kayanya sering banget aku liat kamu nontonin itu.”

Aku tersenyum, “Liat Semesta.”

Ah iya, aku lupa. Kenalkan namanya, Arico Putra. Nama yang sama dengannya bukan? Dia seseorang yang membantuku untuk kembali melangkah saat berdiri saja susah untuk aku lakukan.

“Ayo kesana. Nadia juga Dania udah nunggu lama.:

Aku mengangguk, perlahan aku berdiri melangkah meninggalkan kamera itu. Dania, Nadia? Buah hatiku dengan Rico.

Mungkin, dulu aku pernah merasa semestaku hilang ketika dirinya yang bahkan lamarannya tidak aku terima. Ia sudah pergi dariku. Aku menyesal teramat sangat. Tapi, pada gunung aku belajar. Semestaku tidak benar-benar hilang, ia hanya sedang menungguku di tempat lain.

 

  

Semesta dalam kenangan.

“Hai, Gleev. Disini pukul lima. Aku sedang menunggu fajar datang. Pemandangannya sungguh bagus. Ah, andaikan saja kamu boleh ikut pasti dirimu sudah berloncat girang melihat semesta yang disuguhkan oleh Tuhan dihadapanku ini. Ini adalah puncak yang mungkin paling indah selama aku pernah menginjakkan kak di beberapa gunung.

Gleev, kamu tau? Aku sedikit tersinggung dengan lamaranku yang kemarin kamu tolak. Aku bertanya pada diriku, kurang apa sih aku? Yah kalo dibandingin sama Rico sih masih mending dia juga. Kalo cinta? Gak bakal kurang, soalnya aku udah nyiapi celengan. Isinya cinta aku buat kamu. Haha basi ya. Yaudah Gleev, aku masih setia nunggu jawaban iya dari kamu. Setia banget. Kalo kamu mau nerima satu tahun lagi? Aku bakal tetap nunggu. Mau dua tahun? Gak papa. Tiga tahun? Iya siap. Aku bakal nunggu sampe habis kontrakku dibumi ini.

Kalo aku bilang, cintaku selamanya itu kayanya bohong deh. Jadi penutupnya, cinta aku bakal tetap ada sampe ujung usia aku juga kamu. Inget ya ini, rasaku gak pernah kadaluwarsa ga kayak produk kalengan yang ada di pasar. Rasaku kaya pengawet kok, tahan lama juga tahan banting. YaAllah, ngeri ah lama-lama. Oh iya keinget, satu rahasia yang selama ini aku tutupin dari kamu. anggep aja ini sogokan ya dari aku, itung-itung nanti hatimu luluh. Alasan kenapa aku dulu takut mendaki. Aku takut jatuh. Kena batu. Berdarah. Penyakit yang gak bisa berhentiin pendarahan kamu tau kan? Iya itu hemofiia. Bapak yang bikin aku trauma sama gunung. Karena saat ekspedisi juga bapak jatuh dan ya kamu tau lah akhirnya gimana. Aduh kok aku malah jadi sedih sedih gini. Yaudah ya Gleev, ini cuman video hasil gabut aku di puncak. Eh eh, lihat itu! Fajarnya datang. fajar buat Gleeva! Haha. Dadah Gleev. Sun jauh ya, dari Semestamu.

Minggu, 15 Oktober 2023

SK - TUGAS "AURA"

 #Kawanpuan merupakan sebuah kampanye gerakan yang diasosiasikan oleh aktris, model, dan
aktivis yang sering menyuarakan isu tentang perempuan, Hannah Al Rashid untuk membantu
korban penyintas kekerasan seksual berupa bantuan medis, bantuan psikologis, pendampingan
hukum, pendampingan korban KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online), dan rumah aman
yang bekerja sama dengan kitabisa.com. Kampanye ini meliputi kolaborasi berbagai kelompok,
komunitas, dan pegiat yang memiliki tujuan yang sama untuk membantu penyintas kekerasan
seksual. Kampanye ini sudah dimulai sejak 2020 silam.

Menurut Kemendikbudristek, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan,
menghina, melecehkan, dan menyerang tubuh serta fungsi reproduksi seseorang karena
ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis
dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang. Kekerasan seksual
bisa berupa verbal, nonfisik (serangan batin), fisik, dan melalui teknologi informasi dan
komunikasi. Menurut data dari Catahu Komnas Perempuan, terdapat total 457.895 kasus
kekerasan terhadap perempuan yang tercatat.

Dengan gambaran jumlah penyintas yang besar pada tahun lalu, kasus tersebut juga masih
merambat ke dalam industri perfilman di Indonesia. Sebuah film pendek animasi dari
#Kawanpuan berjudul “Silenced: Mau Sampai Kapan?” dibuat untuk mencoba menggambarkan
fenomena sosial mengenai kekerasan seksual yang terjadi di lingkup keproduksian film di
Indonesia dari perspektif penyintas yang dipublikasi oleh kitabisa.com dan dibantu beberapa
tokoh besar dalam perfliman Indonesia, seperti Adinia Wirasti dan Gina S.Noer pada tahun 2021.
Beberapa kasus telah terjadi, misalnya dalam produksi “Catatan Akhir Sekolah”, sutradara
Andibachtiar Yusuf diduga melakukan kekerasan fisik terhadap kru perempuan yang disebar
melalui unggahan instagram story dari akun Juandini yang bekerja sebagai casting director dan
talent koordinator. Kekerasan yang dilakukan berupa tamparan. Hal tersebut langsung direspons
oleh IFDC (Indonesian Film Directors Club) selaku adosiasi sutradara dengan mengeluarkannya
dari keanggotaan IFDC. Hal lain terjadi kepada keproduksian dari film “Penyalin Cahaya”.
Dalam keproduksian film tersebut, salah satu asisten penulis atau co-writers mempunyai catatan
terlapor sebagai pelaku dari kekerasan seksual pada 2019. Menjadi sebuah permasalahan dan
perbincangan hangat ketika sebuah film yang mengusut tema mengenai kekerasan seksual yang

seharusnya memiliki keberpihakan dan dukungan untuk korban malah datang langsung dari
seorang pelaku kekerasan seksual dan mendapat piala FFI sebagai penulis skenario terbaik di
tahun 2022. Hal ini ditindaklanjuti oleh rumah produksi Rekata Studio dan Kaninga Pictures
yang menaungi produksi film tersebut mencabut namanya dalam kredit film.

Standar SOP film yang tidak terlalu jelas dan tidak mencakup seluruh lini dalam produksi film
menjadi salah satu dari sumber masalah pelecehan seksual di lingkup industri film terlebih
dengan jam kerja yang tidak menentu. SOP ini bisa meliputi akuntabilitas, edukasi, dan ruang
diskusi. Ruang diskusi terbuka mengenai isu ini diperlukan untuk bisa lebih banyak didengarkan
pun disuarakan sehingga SOP dalam beberapa film pun bisa diubah menjadi lebih baik dan ketat
dengan sanksi-sanksi yang tepat sasaran sehingga pelaku harus berpikir dua kali untuk
melakukan tindakan tersebut. Awareness mengenai isu ini meningkat dari tahun ke tahun.
Walaupun demikian, masih ada beberapa hal yang belum sepenuhnya sempurna. Henricus Pria,
pelaku kekerasan seksual yang menjadi salah satu penulis dalam film “Penyalin Cahaya” masih
diberi ruang untuk menjadi juri salah satu FFI setelah kasusnya yang marak diperbincangkan.
Sama halnya seperti film pendek yang dibuat #Kawanpuan, pelaku masih bisa bergerak bebas
disaat korban terjerat dengan traumanya sepanjang waktu yang tidak dapat ditentukan.

Terciptanya ketimpangan relasi kuasa dalam industri ini juga memiliki peran yang cukup besar
dalam terbentuknya kasus kekerasan seksual, seperti ketimpangan antara aktor baru dan aktor
yang sudah berpengalaman, talent dan sutradara, dan sebagainya. Pengangkatan tentang isu ini
pun dibantu sangat besar oleh kekuatan media sosial yang menjadi penggerak untuk Lembaga
hukum bisa lebih tanggap dalam menangani kasus tersebut. Penyebaran kasus lewat perantara
media sosial lebih cepat merambat dan menjadi solusi yang dirasa lebih efektif disaat terdapat
beberapa alternatif pengaduan ke LSM dan sebagainya dengan konsekuensi besar, yaitu
ketidakberpihakannya massa terhadap korban. Indonesia memiliki Undang-Undang No. 12
Tahun 2022 tentang pidana kekerasan seksual yang bisa menjadi pedoman dalam menuntut
pelaku dalam melakukan kekerasan seksual dan melindungi korban. Payung hukum terhadap
korban sudah difasilitasi oleh negara, tetapi belum terdapat sanksi yang tegas dan mengubah
kultur patriarki memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Ketakutan masyarakat untuk
membawa kasus ini ke Lembaga hukum masih memiliki stigma yang kurang baik kepada korban

dan korban yang kerap kali malah kembali dipertanyakan ,seperti apakah pakaiannya terlalu
terbuka, keluar malam, dll.

Solusi yang bisa ditawarkan untuk menciptakan ruang kerja yang aman, terkhusus untuk
perempuan yang rentan akan kekerasan seksual adalah pengetatan kode etik yang ditekankan
pada SOP, SOP yang menjelaskan secara rinci dan merangkup segala lini dengan diiringi sanksi
yang tegas, edukasi, pengadaan pengaduan hotline, serta ruang diskusi. Gerakan #Kawanpuan ini
mencoba untuk mendobrak stigma-stigma yang ada pada korban pelecehan seksual di kultur
patriarki Indonesia. Dengan diadakannya kampanye semacam ini semoga ruang aman yang
tercipta akan semakin menyebar luas terutama dalam industri perfilman Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA:
Paradiza, Rosania. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual.” Jurnal

Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 4, no. 1, 2022,
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jphi/article/view/13545. Accessed 6 Juni
2023.

Mulyana, Muhamad Rifki. NARASI KEKERASAN SEKSUAL DALAM FILM PENYALIN

CAHAYA KARYA WREGAS BHANUTEJJA.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/70943/1/MUHAMAD%20
RIFKI%20MULYANA-FDK.pdf. Accessed 5 Juni 2023.

https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

SK - GAMBAR "ARI"



 

SK - GAMBAR "FIRZAN"

 




SK - CERPEN "Kejaran Gumaman Waktu"

 Kejaran Gumaman Waktu

Idhamsyah Zola Samosir


Ruang keluarga yang begitu hangat cerah mentari, menusuk di setiap ventilasi
berkawat. Menyirami sofa yang empuk, meja, dan TV yang menyilau karena belum
dihidupkan. Ruangan yang tidak telalu besar tapi atmosfer itu begitu menyatu-padu seperti
partikel-partikel kecil karena bersamaan, biasanya kami menonton TV sambil nyemil beberapa
snack yang tersedia di atas meja dengan taplak berwarna hijau berjumbai. Taplak meja yang
sedikit bernoda dan sudah kusam, tapi ibuku masih memakainya di ruang keluarga karena itu
merupakan hadiah dari ayah saat ibu berhasil membuat kue pai susu karamel. Ayah memang
lelaki yang cukup romantis.
Aku bosan, mereka pergi lagi hari ini ketempat yang sangat jauh sana. Aku tidak ingin
ikut, kepalaku selalu pusing untuk perjalanan yang jauh. Sangat tidak menguntungkanku. Aku
mengambil remot dan menyalakan TV tabung berwarna silver dengan beberapa sticker di
tepinya, sepertinya itu aku tempel saat aku masih SD. Aku menaruh tepat pada saluran nomor
tujuh, acara misteri dan konspirasi dunia biasanya pada dini hari. Selama satu jam aku
menikmati tontonan yang penuh dengan tanda tanya itu. Wah, ternyata kepalaku juga tidak
terbiasa untuk menonton tv dengan waktu yang cukup lama. Beberapa kali ayah mengantarkan
aku ke dokter spesialis, mereka selalu mengucapkan kata yang sama.
“Kamu kebanyakan mengkonsumsi vetsin”, tegas pak dokter. Padahal aku suka snack
sedari kecil, apalagi keripik kentang yang sedang ku masukkan satu per satu kedalam
kerongkonganku sambil memandang layar kaca.
Tok...tok...toghk. Ketukan pintu terdengar jelas di sudut tembok berwarna oranye.
Tidak sabarnya raga ini membawa ku berlari untuk membuka pintu yang terkunci. Benar saja.
Sesuai perkiraanku, Ibu dan Ayah baru saja pulang dari tempat jauh itu dengan membawa
wajah yang berseri seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan nilai A pada ujian kelas.
Aku membantu membawa koper ayah yang berwarna hitam legam, koper itu sangat berat. Apa
sekiranya isi benda gelap ini, sampai setiap garis urat tanganku menonjol seperti ingin keluar.
Aku meletakkannya tak jauh dari ruang keluarga, di samping tumpukan buku ayah yang sudah
menguning. Bukan. Bukunya memang berwarna kuning becampur warna merah. Mereka
berdua langsung saja duduk di ruang keluarga sambil menonton tv dan berusaha menghabiskan
keripik kentang yang sudah kubuka sebelumnya. Aku kira mereka akan beristirahat langsung
atau setidaknya mengganti pakaian mereka, ternyata tidak.
“Kamu tahu apa yang kami lihat tadi, apakah kamu ingin mendengarnya, Jek?” Ucap
Ayah membuka pembicaraan.
“Gunung lagi? Apakah gunung yang lainnya?”
“Tidak hanya itu, Jek. Bukan soal gunung lagi. Dari atas gunung kita bisa melihat
sungai yang panjang, sangat asri tak ada sampah yang mengambang ditambah lagi rumah
berjejer rapi di sampingnya. Begitu damai, padahal sungai tersebut di pinggir kota.” Sambut
Ibuku yang bibirnya masih terdapat lipstik berwarna merah merona, habis bepergian. Sudah
biasa.

“Tempat itu memang sangat indah, tidak seperti di sini. Padahal ini sudah bukan era
kerajaan lagi, tapi yang duduk di atas sangat semena-mena dalam segala urusan. Salah satunya
bantaran sungai pasti selalu hangus karena digusur tanpa ada jiwa humanis sedikitpun”.
“Ini bukan tanah surga lagi, tonkat dan kayu jadi jahanam oleh para pendatang dari
negeri seberang.”.
Mereka lanjut berdebat tanpa henti, aku membiarkan mereka karena juga tidak terlalu
tertarik dengan fenomena politik. Mataku masih terjaga seru melihat tayangan siaran saja.
Prang! Botol kaca jatuh didepan pintu, sial pintu lupa aku kunci kembali. Ayah dan aku siap
siaga melihat apa yang terjadi di luar pintu cokelat itu. Terulang lagi, adikku terlihat habis
menikmati sebotol minuman keras yang belum benar-benar habis. Kaca yang berserakan masih
sedikit dilumuri air warna merah bata. Firasat ku ia baru saja bertengkar hebat dengan
kekasihnya, dan balik ke tongkrongan nakal lamanya.
“Bajingan, anak kurang ajar,” keras ayah sampai terdengar ke dalam ruang tamu
membuat ibu ikut keluar melihat perang besar ini.
“Aku hanya bermain-main, apa aku tidak boleh senang?”
“Apa kamu tidak tahu malu berkata demikian, sudah rupamu sekarang seperti ini dan
baru saja mendapat pesan dari kuliahmu kalau kamu tidak pernah masuk bulan ini dan akan di
DO jika kamu tidak hadir sekali lagi.”
“Aku mau gila, yah. Aku tidak mau menjalani hidup ini lagi, Ani sudah memutuskan
hubungan kita berdua. Aku sama sekali tak bisa hidup tanpa dia.”
Ayah membiarkan Bento istirahat dan menenangkan diri terlebih dahulu setelah ia
mengeluarkan kata-kata melankolis tersebut. Seakan-akan ayah sangat paham benar benar
bahwa cinta memang gila dan membuat orang seperti ODGJ jika benar-benar cinta. Ayah sudah
melalui semua itu kurasa. Walaupun aku yang lebih tua, dia jauh lebih tinggi dan kekar. Rambut
adikku masih rapi, bajunya selalu mencolok ditambah kaca mata bulat beserta topi bundar
hitam yang membuat dia seperti anak culun. Tetapi tidak, kaca mata itu dipasangkan di
wajahnya hanya karena memang mata kanan dan kirinya minus 7,5.
Aku masih diam didepan pintu duduk diatas kursi kayu, masih memelas pada nasib adik
kesayanganku sekarang ini. Mengapa cinta begitu berbahaya, aku terkadang tak percaya. Apa
mungkin anggapan ini datang pada orang yang tidak pernah mendekati para betina, seperti aku.
Sambil menatap bintang, lamunanku menuju kepada bekas botol hijau yang setengah telah
membeling lemparan adikku. Ada bunga di dalam leher botol itu. Minuman keras yang ada
bunganya, aneh. Wushh. Melewati daun telingaku yang bulat dan kecil. Bahuku tertusuk mulut
nyamuk rasanya, perlahan kelopak mataku tertutup sepertinya aku kantuk. Aku merebahkan
kepalaku ke kursi yang tak nyaman untuk tidur.
Tshhhhh...Suara hilir sungai menderu kencang membuat mataku terbuka. Pikiran
semberaut kemana-mana, siapa yang bisa memindahkan ragaku ke pinggir sungai ini,
“HAAAAAHHH...” Teriak Bento menangis membuatku terlompat jengkal.

Tanpa memikir panjang dan berbelok-belk lahi, aku menghampiri dan menepuk
pundaknya.
“Kamu tidak bisa hancur karena cinta, Ben. Hem, tapi dilain hal aku lebih sedih Ben,
kok bisa-bisanya kamu membawaku ke sungai ini. Kotor. Padahal aku ingin tidur sepanjang
hari di pekan ini”.
“Kamu tahu apa, Bang? Abang tidak pernah memiliki seorang kekasih,” dia tidak
menghiraukan keluhanku sama sekali.
“Yah, benar aku tidak merasakannya. Sebagai manusia yang masih waras aku hanya
ingin berpesan. Inilah gunaku berada di sini, karena kamu sudah gila dan tidak bisa berpikir
baik. Jangan membuat cintamu merebut duniamu, kehidupanmu. Kamu jangan monoton, cinta
bukan segalanya cuman sekadar bagian dari hidup. Masih ada masa depan dan keluarga dalam
lembaran hidupmu. Kau tahu? Ayah dan Ibu berusaha mati-matian bekerja menghidupi kita
berdua ditambah lagi membayar kuliahmu setiap semester, bukan uang yang sedikit. Mereka
memaksa berbagai cara untuk dapat hidup di tempat yang lebih layak. Dengan semua ini kamu
tidak boleh hanya melambaikan tangan pada dunia”.

“Apa benar seperti itu, mereka ingin kesana yah? Aku sudah menduga semua ini lagi-
lagi cinta yang menutup mataku”.

“Ahhh, aku kencing sebentar Ben”.
Aku ke WC terdekat dan mengeluarkan semua air kencingku. Tidak seperti biasanya,

warna kencingku bukan putih atau kuning, tetapi oranye. Seperti orang yang overdosis obat-
obatan. Aku segera balik, sepintas di pikiran ketakutanku Bento tiba-tiba mengakhiri hidupnya

di sungai karena depresi. Ternyata dia telah duduk sambil membaca koran. Tidak ada yang
aneh melainkan Bento yang membaca tanpa menggunakan kaca mata.
“Boneka beruang merah, diskon sembilan puluh persen. Hem, menarik.”
“Apakah minus sebesar itu dapat sembuh, Ben?”
“Whahahahaha, apa maksudmu, Bang? Aku tidak sedang membaca, sekadar mencoba
melatih mata tanpa kacamata. Ternyata tidak memiliki hasil”.
“Hemmmmm, kamu ada-ada saja”.
Aku duduk di samping Bento, tidak begitu dekat. Seperti sedang musuhan. Benar saja,
aku tidak bisa memandang atmosfer taman dengan nyaman. Di sini nyamuk berkeliaran cepat
didepan mataku, seperti meleleh karena terlalu cepat. Bahu kananku seperti digigit nyamuk.
Aku kantuk tak kenal tempat.
“Aku tidur sebentar, Ben. Nanti bangunin yah,” Sambil menutup kelopak mata
memandang sungai yang mulai berat.
Aku mimpi aneh, bertemu kuda berkepala banteng. Aku dikejar tak henti, HAP.
Terbangun dengan kaget, melihat seisi ruangan. Yah, benar aku baru bangun dari kasur
kamarku. Mencuri pandangan ke kaca jendela, ternyata sudah malam hari. Aku bergegas ke

kamar Bento menanyakan gerangan bisa sampai aku sudah ada di dalam kamar. Ini sudah
berkali-kali kelewatan melemparku kemana-mana. Aku membuka pintunya, begitu bodoh tak
mengunci kamar sendiri. Di atas lantai coklat kamar itu berserakan lembaran lembaran kertas
yang penuh dengan coretan tulisan maupun gambar. Tertangkap basah, Bento sedang membaca
jurnal tebal berwarna biru. Benar-benar tanpa kaca mata bulatnya.
“Hey, siapa sebenarnya kamu?” Teriak aku sambil gemetaran.
Bento mengambil jarum suntik, dengan cairan berwarna oranye di dalamnya. Selama
lima detik ia menatap mataku dengan sinis, tanpa suara. Aku hanya terpaku, dengan kaki yang
berkeringat. Bento lari menghampiriku, aku lari menaiki lantai dua memasuki kamar orang tua
kami. Dari belakang baju bagian bahuku tertarik oleh Bento.
Apakah aku mati sekarang juga? Apakah Bento ingin membiusku dan menjualku?
Ataukah dia adalah pencur bola mata manusia? Apakah begitu depresi ingin mendapatkan uang
dan membantu orang tua kami dengan cara yang tak lazim ini? Aku teriak sambil menendang
perutnya. Cengkramannya yang kuat membuat baju kaos putihku robek. Secepatnya melaju
memasuki kamar orang tua kami. Sial, mereka tidak ada dirumah. Segera ku ambil telepon
rumah, dan menelepon ayah dan ibu.
“Ayahhhhh, Bento.....Bento ingin membunuhku!”
“Ayah secepatnya ke rumah”.
TOK.....TOK.....TOGHK. Ketukan pintu dari luar kamar.
“Bang, keluar saja aku tidak akan menyakitimu. Kamu hanya sedang sakit saja, obatnya
sedang ku genggam. Kamu perlu istirahat”.
“Kamu benar-benar gila, Ani yang membuatmu seperti ini?”
Tiba-tiba hening, benar-benar hening. Tidak ada suara Bento selama sepuluh menit
lebih.
“Jek, apa kamu di dalam?” Suara Ayah hangat menyelamatkan duniaku.
Aku membuka pintu, melihat jarum suntik yang sangat besar. Terletak di depan mataku.
Tapi yang memegang bukan lagi Bento, melainkan Ayah sendiri.
“Apa yang Ayah per...,” bahu kananku digigit nyamuk. Bukan. Tertusuk jarum suntik.
Aku bangun tanpa bermimpi. Mataku tertutup lagi saat membuka mata, kaget cahaya
lampu diatas begitu terang dan dekat. Aku berusaha membuka mata kembali. Ayah, Ibu, dan
Bento sedang mengelilingi ku sambil melihatku terikat tangan dan kaki. Mereka mengikatnya
begitu erat, urat tanganku rasanya seperti terputus.
“Apa alasanmu membantai habis satu keluarga wali kota, Jek?” Tegas yang ku kenal
sebagai Ayah.

“Apa maksudmu, aku anak kalian yang tidak sering keluar rumah. Apalagi membunuh,
aku takut melakukannya”.
“Bagaimana dengan ini?” Bento membawakan koper, yah berwarna hitam. Koper yang
sangat berat.
Mereka membukanya, terlihat sebilah pisau berlumuran darah yang sudah mengeras.
Terdapat boneka beruang, vas bunga, dan topi bundar yang semuanya berwarna merah yang
mengeras bagaikan batu merah dari sungai.
“Apa maksud kalian atas semua ini?” Tanyaku bingung, otakku pusing dan semakin
memanas.
Cinta memang segalanya. Aku melihat kalung dengan liontin jantung yang terbelah di
dalam koper. Aku baru ingat, itu kalung Jane, pacarku. Terakhir aku mengingat kita melarikan
diri dengan mobil dan menabrak tiang lampu jalan sehinga berbelok terlempar ke dalam sungai
yang tidak teralalu dalam. Itu boneka adik lelakiku, dia masih SD. Vas bunga berwarna hijau
ibu, pemberian ayahku. Topi bundar berwarna hitam yang selalu dipakai Ayah untuk ke kantor.
Yah aku benar-benar ingat apa yang kulakukan dengan bilah pisau yang berbentuk seperti
tanduk banteng itu. Masih berlumuran darah yang mengeras.
“Aku membunuh ayahku, aku mengetahui ia telah curang. Dia korupsi”.
DORRRRR!!!

SK - KUMPULAN PUISI "ASEP"

 

Adrian Witular

Cinta Parseman


Kau parut sebongkah cinta

Lalu dinikmati dengan mesra

Dilumuri kasih sayang

Ditaburi sepucuk harapan















Adrian Witular

Tinggal Rasa


Memberi sedikit rasa diantara awan-awan

dan menghamburkannya melalui udara

Sehingga itu yang kau hirup adalah aku
















Adrian Witular

Serenity


Rembulan menyapa lebih cepat

Awan seakan meracik warna terbaiknya

Pohon bersujud akan kedatangannya

dan burung-burung bersenandung

Meluapkan rasa syukur keindahan tuhan














Adrian Witular

Tanda Rasa


Biarkan senyum ini terus lebar

Menutupi sebuah penyesalan

Ditikam rasa sabar

Tanpa tau harus berjabar















Adrian Witular

Ekspedisi Mimpi


Hitam putih dimata sang pemimpi

Dengan khayal larut akan sepi

Diselimuti kehangatan dalam pelukan

Terbangun dari pejaman yang rapat 

Dikira sudah mati atau bahkan di samping tuhan














Adrian Witular

Saat Saat


Sang tuan jatuh membawa berita

Akan pesta anak-anak ditengah lapang

Kini menjadi petaka ibu rumah tangga, tak apa

Singkat tapi pembuat kehangatan dimeja makan















Adrian Witular

Kaki Jalanan


Raga kanak sedang jiwa dewasa

Karena berseteru dengan sirine 

dan desir peluru

Diselimuti maha takut


Dengan rasa yang menebus kalbu 

Dipelukan tumpukan tak beraturan 

Merelakan hayat digenggam tuan.


Kini hanya cermin pembuat resah 

akan rasa yang tertindas


Rela

Walau tempat bersandar hanya sekadar

Rela

Walau tuan tampak seperti tuhan



Rela 

Walau ajal terlihat terjal


Kurela hingga saatnya semua merela


















Adrian Witular

Kata Keranjang


Dibawah pohon tak berdaun

Yang Dielus bulan jalanan

Kehangatan meninggalkan pesan : 

Tuan memanjang menyetubuhi angin selatan















Adrian Witular

Sorak Daun Mati


Diantara gemuruh ombak

Dan teriakan orang bersorak

Aku adalah daun yang terbawa

Ombak ke tengah lautan

Tersesat akan jalan pulang 


Menyapa para nelayan sedang beribadah

Walau hatinya belum tentu tabah

Menabrak karang dan kerang

Tak tau akan terang benderang


Ku biarkan semua tersapu sampai aku menyatu 

Hingga aku menjadi debu

Adrian Witular

Kutub Bertanya


Didalam ruang seperti kutub

Seorang dosen berkata kepada

Mahasiswanya.

“Ini Namanya apresiasi”

Lalu aku mulai bertanya

Apakah apresiasi bisa dibeli?

Apakah apresiasi itu bisa tukar tambah?

Apakah apresiasi itu berbentuk?

Dosen diam termenung tanpa kata



Adrian Witular

Tuan


Kepada tuan sinar Kembali dipanggil

Melalui angin hilir menjadi fosil

Lantas tuan Kembali menjadi raja

Tertulis rasa kedua.

Adrian Witular

Atur

Ketika semua hidup penuh aturan 

Apakah kehidupan beraturan?

Atau mungkin hidupnya

Tidak mempunyai aturan?

Adrian Witular

Ngajab


Mentari bangun lebih cepat

Menyambut burung

Yang sedangpaduan suara

Awan berjalan lebih cepat

Dikejar matriks yang dibuatnya

Langit sudah di laundry sehingga 

Memunculkan warna terindahnya


Sedang aku masih menggunakan

Baju yang sama

Warna yang sama

Wangi yang sama

Bahkan dengan tulisan yang sama

“Semua baik-baik saja”

Adrian Witular

Apakah Atau


Pada akhirnya Mentari

Muncul dengan skala kecil

Menyinari tapi tak menghangatkan

Lantas harus bagaimana?

Apakah?

Atau?

Adrian Witular

Andai


Andai kau tak cepat menanam bunga sepatu

Akan kuberikan bunga mawar putih

Disebuah pementasan berlatar kosong

Menggunakan suasana marah dan sedih

Sebuah tepukan terlempar keatas panggung

Yang mengirim kau ke surga

Is-be

Kar.


Adrian Witular

Jejak


Setiap jejak kaki akan tercatat

Walau rerumputan enggan ikut

Serta angin akan menyapu langkah

Demi langkah, ombak bagai

Pengiring dari setiap pijakan, 

Burung menjerit akibat kepanasan

Dan Mentari akan menyoroti hal itu.


Adrian Witular

Basa Basi


Seorang pemuda pernah bertanya :

Apa gunanya syarat jika syarat tidak menjadi syarat?

Semua diam

Apakah syarat itu menjadi keharusan agar tak berurusan?

Semua diam

Dan apakah aku berkata harus bersyarat?

Semua diam

Aku melemparkan senyum dan berkata :

Semua basa basi.

POPULER