Minggu, 15 Oktober 2023

SK - CERPEN "Kejaran Gumaman Waktu"

 Kejaran Gumaman Waktu

Idhamsyah Zola Samosir


Ruang keluarga yang begitu hangat cerah mentari, menusuk di setiap ventilasi
berkawat. Menyirami sofa yang empuk, meja, dan TV yang menyilau karena belum
dihidupkan. Ruangan yang tidak telalu besar tapi atmosfer itu begitu menyatu-padu seperti
partikel-partikel kecil karena bersamaan, biasanya kami menonton TV sambil nyemil beberapa
snack yang tersedia di atas meja dengan taplak berwarna hijau berjumbai. Taplak meja yang
sedikit bernoda dan sudah kusam, tapi ibuku masih memakainya di ruang keluarga karena itu
merupakan hadiah dari ayah saat ibu berhasil membuat kue pai susu karamel. Ayah memang
lelaki yang cukup romantis.
Aku bosan, mereka pergi lagi hari ini ketempat yang sangat jauh sana. Aku tidak ingin
ikut, kepalaku selalu pusing untuk perjalanan yang jauh. Sangat tidak menguntungkanku. Aku
mengambil remot dan menyalakan TV tabung berwarna silver dengan beberapa sticker di
tepinya, sepertinya itu aku tempel saat aku masih SD. Aku menaruh tepat pada saluran nomor
tujuh, acara misteri dan konspirasi dunia biasanya pada dini hari. Selama satu jam aku
menikmati tontonan yang penuh dengan tanda tanya itu. Wah, ternyata kepalaku juga tidak
terbiasa untuk menonton tv dengan waktu yang cukup lama. Beberapa kali ayah mengantarkan
aku ke dokter spesialis, mereka selalu mengucapkan kata yang sama.
“Kamu kebanyakan mengkonsumsi vetsin”, tegas pak dokter. Padahal aku suka snack
sedari kecil, apalagi keripik kentang yang sedang ku masukkan satu per satu kedalam
kerongkonganku sambil memandang layar kaca.
Tok...tok...toghk. Ketukan pintu terdengar jelas di sudut tembok berwarna oranye.
Tidak sabarnya raga ini membawa ku berlari untuk membuka pintu yang terkunci. Benar saja.
Sesuai perkiraanku, Ibu dan Ayah baru saja pulang dari tempat jauh itu dengan membawa
wajah yang berseri seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan nilai A pada ujian kelas.
Aku membantu membawa koper ayah yang berwarna hitam legam, koper itu sangat berat. Apa
sekiranya isi benda gelap ini, sampai setiap garis urat tanganku menonjol seperti ingin keluar.
Aku meletakkannya tak jauh dari ruang keluarga, di samping tumpukan buku ayah yang sudah
menguning. Bukan. Bukunya memang berwarna kuning becampur warna merah. Mereka
berdua langsung saja duduk di ruang keluarga sambil menonton tv dan berusaha menghabiskan
keripik kentang yang sudah kubuka sebelumnya. Aku kira mereka akan beristirahat langsung
atau setidaknya mengganti pakaian mereka, ternyata tidak.
“Kamu tahu apa yang kami lihat tadi, apakah kamu ingin mendengarnya, Jek?” Ucap
Ayah membuka pembicaraan.
“Gunung lagi? Apakah gunung yang lainnya?”
“Tidak hanya itu, Jek. Bukan soal gunung lagi. Dari atas gunung kita bisa melihat
sungai yang panjang, sangat asri tak ada sampah yang mengambang ditambah lagi rumah
berjejer rapi di sampingnya. Begitu damai, padahal sungai tersebut di pinggir kota.” Sambut
Ibuku yang bibirnya masih terdapat lipstik berwarna merah merona, habis bepergian. Sudah
biasa.

“Tempat itu memang sangat indah, tidak seperti di sini. Padahal ini sudah bukan era
kerajaan lagi, tapi yang duduk di atas sangat semena-mena dalam segala urusan. Salah satunya
bantaran sungai pasti selalu hangus karena digusur tanpa ada jiwa humanis sedikitpun”.
“Ini bukan tanah surga lagi, tonkat dan kayu jadi jahanam oleh para pendatang dari
negeri seberang.”.
Mereka lanjut berdebat tanpa henti, aku membiarkan mereka karena juga tidak terlalu
tertarik dengan fenomena politik. Mataku masih terjaga seru melihat tayangan siaran saja.
Prang! Botol kaca jatuh didepan pintu, sial pintu lupa aku kunci kembali. Ayah dan aku siap
siaga melihat apa yang terjadi di luar pintu cokelat itu. Terulang lagi, adikku terlihat habis
menikmati sebotol minuman keras yang belum benar-benar habis. Kaca yang berserakan masih
sedikit dilumuri air warna merah bata. Firasat ku ia baru saja bertengkar hebat dengan
kekasihnya, dan balik ke tongkrongan nakal lamanya.
“Bajingan, anak kurang ajar,” keras ayah sampai terdengar ke dalam ruang tamu
membuat ibu ikut keluar melihat perang besar ini.
“Aku hanya bermain-main, apa aku tidak boleh senang?”
“Apa kamu tidak tahu malu berkata demikian, sudah rupamu sekarang seperti ini dan
baru saja mendapat pesan dari kuliahmu kalau kamu tidak pernah masuk bulan ini dan akan di
DO jika kamu tidak hadir sekali lagi.”
“Aku mau gila, yah. Aku tidak mau menjalani hidup ini lagi, Ani sudah memutuskan
hubungan kita berdua. Aku sama sekali tak bisa hidup tanpa dia.”
Ayah membiarkan Bento istirahat dan menenangkan diri terlebih dahulu setelah ia
mengeluarkan kata-kata melankolis tersebut. Seakan-akan ayah sangat paham benar benar
bahwa cinta memang gila dan membuat orang seperti ODGJ jika benar-benar cinta. Ayah sudah
melalui semua itu kurasa. Walaupun aku yang lebih tua, dia jauh lebih tinggi dan kekar. Rambut
adikku masih rapi, bajunya selalu mencolok ditambah kaca mata bulat beserta topi bundar
hitam yang membuat dia seperti anak culun. Tetapi tidak, kaca mata itu dipasangkan di
wajahnya hanya karena memang mata kanan dan kirinya minus 7,5.
Aku masih diam didepan pintu duduk diatas kursi kayu, masih memelas pada nasib adik
kesayanganku sekarang ini. Mengapa cinta begitu berbahaya, aku terkadang tak percaya. Apa
mungkin anggapan ini datang pada orang yang tidak pernah mendekati para betina, seperti aku.
Sambil menatap bintang, lamunanku menuju kepada bekas botol hijau yang setengah telah
membeling lemparan adikku. Ada bunga di dalam leher botol itu. Minuman keras yang ada
bunganya, aneh. Wushh. Melewati daun telingaku yang bulat dan kecil. Bahuku tertusuk mulut
nyamuk rasanya, perlahan kelopak mataku tertutup sepertinya aku kantuk. Aku merebahkan
kepalaku ke kursi yang tak nyaman untuk tidur.
Tshhhhh...Suara hilir sungai menderu kencang membuat mataku terbuka. Pikiran
semberaut kemana-mana, siapa yang bisa memindahkan ragaku ke pinggir sungai ini,
“HAAAAAHHH...” Teriak Bento menangis membuatku terlompat jengkal.

Tanpa memikir panjang dan berbelok-belk lahi, aku menghampiri dan menepuk
pundaknya.
“Kamu tidak bisa hancur karena cinta, Ben. Hem, tapi dilain hal aku lebih sedih Ben,
kok bisa-bisanya kamu membawaku ke sungai ini. Kotor. Padahal aku ingin tidur sepanjang
hari di pekan ini”.
“Kamu tahu apa, Bang? Abang tidak pernah memiliki seorang kekasih,” dia tidak
menghiraukan keluhanku sama sekali.
“Yah, benar aku tidak merasakannya. Sebagai manusia yang masih waras aku hanya
ingin berpesan. Inilah gunaku berada di sini, karena kamu sudah gila dan tidak bisa berpikir
baik. Jangan membuat cintamu merebut duniamu, kehidupanmu. Kamu jangan monoton, cinta
bukan segalanya cuman sekadar bagian dari hidup. Masih ada masa depan dan keluarga dalam
lembaran hidupmu. Kau tahu? Ayah dan Ibu berusaha mati-matian bekerja menghidupi kita
berdua ditambah lagi membayar kuliahmu setiap semester, bukan uang yang sedikit. Mereka
memaksa berbagai cara untuk dapat hidup di tempat yang lebih layak. Dengan semua ini kamu
tidak boleh hanya melambaikan tangan pada dunia”.

“Apa benar seperti itu, mereka ingin kesana yah? Aku sudah menduga semua ini lagi-
lagi cinta yang menutup mataku”.

“Ahhh, aku kencing sebentar Ben”.
Aku ke WC terdekat dan mengeluarkan semua air kencingku. Tidak seperti biasanya,

warna kencingku bukan putih atau kuning, tetapi oranye. Seperti orang yang overdosis obat-
obatan. Aku segera balik, sepintas di pikiran ketakutanku Bento tiba-tiba mengakhiri hidupnya

di sungai karena depresi. Ternyata dia telah duduk sambil membaca koran. Tidak ada yang
aneh melainkan Bento yang membaca tanpa menggunakan kaca mata.
“Boneka beruang merah, diskon sembilan puluh persen. Hem, menarik.”
“Apakah minus sebesar itu dapat sembuh, Ben?”
“Whahahahaha, apa maksudmu, Bang? Aku tidak sedang membaca, sekadar mencoba
melatih mata tanpa kacamata. Ternyata tidak memiliki hasil”.
“Hemmmmm, kamu ada-ada saja”.
Aku duduk di samping Bento, tidak begitu dekat. Seperti sedang musuhan. Benar saja,
aku tidak bisa memandang atmosfer taman dengan nyaman. Di sini nyamuk berkeliaran cepat
didepan mataku, seperti meleleh karena terlalu cepat. Bahu kananku seperti digigit nyamuk.
Aku kantuk tak kenal tempat.
“Aku tidur sebentar, Ben. Nanti bangunin yah,” Sambil menutup kelopak mata
memandang sungai yang mulai berat.
Aku mimpi aneh, bertemu kuda berkepala banteng. Aku dikejar tak henti, HAP.
Terbangun dengan kaget, melihat seisi ruangan. Yah, benar aku baru bangun dari kasur
kamarku. Mencuri pandangan ke kaca jendela, ternyata sudah malam hari. Aku bergegas ke

kamar Bento menanyakan gerangan bisa sampai aku sudah ada di dalam kamar. Ini sudah
berkali-kali kelewatan melemparku kemana-mana. Aku membuka pintunya, begitu bodoh tak
mengunci kamar sendiri. Di atas lantai coklat kamar itu berserakan lembaran lembaran kertas
yang penuh dengan coretan tulisan maupun gambar. Tertangkap basah, Bento sedang membaca
jurnal tebal berwarna biru. Benar-benar tanpa kaca mata bulatnya.
“Hey, siapa sebenarnya kamu?” Teriak aku sambil gemetaran.
Bento mengambil jarum suntik, dengan cairan berwarna oranye di dalamnya. Selama
lima detik ia menatap mataku dengan sinis, tanpa suara. Aku hanya terpaku, dengan kaki yang
berkeringat. Bento lari menghampiriku, aku lari menaiki lantai dua memasuki kamar orang tua
kami. Dari belakang baju bagian bahuku tertarik oleh Bento.
Apakah aku mati sekarang juga? Apakah Bento ingin membiusku dan menjualku?
Ataukah dia adalah pencur bola mata manusia? Apakah begitu depresi ingin mendapatkan uang
dan membantu orang tua kami dengan cara yang tak lazim ini? Aku teriak sambil menendang
perutnya. Cengkramannya yang kuat membuat baju kaos putihku robek. Secepatnya melaju
memasuki kamar orang tua kami. Sial, mereka tidak ada dirumah. Segera ku ambil telepon
rumah, dan menelepon ayah dan ibu.
“Ayahhhhh, Bento.....Bento ingin membunuhku!”
“Ayah secepatnya ke rumah”.
TOK.....TOK.....TOGHK. Ketukan pintu dari luar kamar.
“Bang, keluar saja aku tidak akan menyakitimu. Kamu hanya sedang sakit saja, obatnya
sedang ku genggam. Kamu perlu istirahat”.
“Kamu benar-benar gila, Ani yang membuatmu seperti ini?”
Tiba-tiba hening, benar-benar hening. Tidak ada suara Bento selama sepuluh menit
lebih.
“Jek, apa kamu di dalam?” Suara Ayah hangat menyelamatkan duniaku.
Aku membuka pintu, melihat jarum suntik yang sangat besar. Terletak di depan mataku.
Tapi yang memegang bukan lagi Bento, melainkan Ayah sendiri.
“Apa yang Ayah per...,” bahu kananku digigit nyamuk. Bukan. Tertusuk jarum suntik.
Aku bangun tanpa bermimpi. Mataku tertutup lagi saat membuka mata, kaget cahaya
lampu diatas begitu terang dan dekat. Aku berusaha membuka mata kembali. Ayah, Ibu, dan
Bento sedang mengelilingi ku sambil melihatku terikat tangan dan kaki. Mereka mengikatnya
begitu erat, urat tanganku rasanya seperti terputus.
“Apa alasanmu membantai habis satu keluarga wali kota, Jek?” Tegas yang ku kenal
sebagai Ayah.

“Apa maksudmu, aku anak kalian yang tidak sering keluar rumah. Apalagi membunuh,
aku takut melakukannya”.
“Bagaimana dengan ini?” Bento membawakan koper, yah berwarna hitam. Koper yang
sangat berat.
Mereka membukanya, terlihat sebilah pisau berlumuran darah yang sudah mengeras.
Terdapat boneka beruang, vas bunga, dan topi bundar yang semuanya berwarna merah yang
mengeras bagaikan batu merah dari sungai.
“Apa maksud kalian atas semua ini?” Tanyaku bingung, otakku pusing dan semakin
memanas.
Cinta memang segalanya. Aku melihat kalung dengan liontin jantung yang terbelah di
dalam koper. Aku baru ingat, itu kalung Jane, pacarku. Terakhir aku mengingat kita melarikan
diri dengan mobil dan menabrak tiang lampu jalan sehinga berbelok terlempar ke dalam sungai
yang tidak teralalu dalam. Itu boneka adik lelakiku, dia masih SD. Vas bunga berwarna hijau
ibu, pemberian ayahku. Topi bundar berwarna hitam yang selalu dipakai Ayah untuk ke kantor.
Yah aku benar-benar ingat apa yang kulakukan dengan bilah pisau yang berbentuk seperti
tanduk banteng itu. Masih berlumuran darah yang mengeras.
“Aku membunuh ayahku, aku mengetahui ia telah curang. Dia korupsi”.
DORRRRR!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POPULER