Selasa, 06 Juni 2023

SELASA SASTRA - CERPEN "Entah Bagaimana Nanti, Dik."

Entah Bagaimana Nanti, Dik.

Penulis            : Syahdan Hafidh

 
                                                                                          Foto : Nahdhi Vargani
 

                Iqamah telah usai dikumandangkan, segera malam kembali seperti ihwalnya. Dari kursi tempatnya duduk, ia mendengar suara jangkrik dan kodok, seakan saling bercerita tentang bagaimana seharian ini mereka menjalani hidup mereka.

            Mas, seperti biasa kan?tanya seorang wanita yang suaranya tak lagi asing di telinga Teguh. Wanita itu bernama Wiwi, mereka bertemu di warung sate tempat mereka bekerja sekitar tujuh tahun yang lalu, sejak saat itu, mereka bersepakat untuk tetap bersama, hingga saat ini.

Iya, jangan lupa, gulanya satu sendok saja. jawab Teguh.

            Wiwi keluar dengan nampan andalannya. Nampan dari kayu dengan aksen gambar bunga anggrek di tengahnya, di atasnya seperti biasa, dua cangkir teh tubruk beraroma melati dan sepiring biskuit cokelat yang menjadi satu-satunya camilan yang ia yakin betul, dapat memasaknya dengan baik.

Kau sudah dengar lagu terbaru Vina, Wi? tanya Teguh sambil mengangkat cangkirnya.

            Ohh, Iya! tadi aku sempat mendengarnya di radio Mas, banyak sekali pendengar yang meminta diputarkan. Coba aku cari dulu, siapa tahu sampai sekarang masih diputar,ucap Wiwi sambil memutar radio di atas meja terasnya itu. Mereka memang suka mendengar lagu bersama, sejak dari radio di Warung Sate tempat mereka bekerja dulu, hingga berlanjut, mendengarnya dirumah Wiwi lewat radio usang peninggalan Ayahnya dulu.

             Dari arah kejauhan, terdengar suara samar-samar wanita tertawa serta dengungan motor yang semakin jelas. Sorot lampunya semakin mendekat ke arah mereka, melintasi lubang demi lubang yang sudah benar-benar diluar kepala mereka. Tibalah motor itu di depan rumah.

Terimakasih ya Ko, sudah mengantarkan”

Iya Ti, sama-sama. Besok kita jadi? tanya Eko,

             Wajah Narti sedikit kaget dan langsung memandang tak enak pada kakaknya dan Teguh yang sedang di depan rumah.


Jangan keras-keras Ko, perihal itu besok aku saja yang ke tempatmu.” katanya pada Eko.

 

Yasudah kalau begitu, aku pulang dulu, perlu turun dan salaman pada kakakmu? tanya

Eko,

 

Sudah, tak perlu Ko, nanti aku saja yang pamitan ke mereka, jawab Narti lugas.

 

             Eko pun beranjak pergi sambil sedikit tersenyum ke arah Wiwi dan Teguh sebagai salam perpisahan. Bagi Narti, selama ada kakaknya di rumah, Narti belum pernah mempersilahkan Eko     untuk mampir, entah karena malu atau apa. Walau begitu, sudah hampir setahun Eko mengantar dan kadang menjemput Narti, dan selama itu pula Narti tak pernah menjawab serius pertanyaan kakaknya perihal Eko.

Eko tidak kau ajak mampir, Nar ? tanya Wiwi,

            Oh, tidak mbak, dia harus bergegas bantu ibunya, membeli sayur katanya,jawab Narti sambi sedikit tersenyum pada Teguh lalu terburu-buru masuk kedalam seperti menghindari pembicaraannya dengan kakaknya itu.

            Memangnya dimana Wi yang jual sayur malam begini? tanya Teguh pada Wiwi dengan nada sedikit bercanda,

            Mungkin zaman sudah berubah Mas, Pasar malam kini jual sayuran juga,jawab Wiwi sambil sedikit tertawa dan Teguh menimpali dengan tawanya juga.

             Terpantik hal itu, mereka pun kembali mengenang, mengenang bagaimana ketika dulu mereka dekat dan akhirnya bersama, dari malu-malu ketika menawarkan pulang bersama, lalu beranjak pada kenangan pertama kali Teguh menggenggam tangan Wiwi, hingga akhirnya diam- diam mencuri kesempatan dan berciuman di ujung toko ketika jam tutup toko tiba. Rasanya film telah ditayangkan di kepala mereka, panjang sekali.

              Hingga pada satu waktu dimana mereka saling diam, Wiwi menampakkan raut yang entah apa artinya itu. Mereka berada dalam suasana yang penuh sirat dan entah kapan akan meledak.

Tak selamanya kita seperti ini kan Mas? tanya Wiwi pada lelaki di sampingnya.


            Apa maksudmu ialah duduk disini dan memandang kedalaman malam, di depan rumahmu ini denganmu dan secangkir teh serta kue ini nona?ucap Teguh sambil sedikit tersenyum dan masih mencoba menimpalinya dengan candaan.

            Iya. Pun dengan ketidakjelasan hubungan kita yang semakin berlarut-larut ini Mas. Mata Wiwi begitu dalam, memberi isyarat kuat pada Teguh, bahwa kini film kenangan masa lalu sudah tak lagi diputar di kepalanya.

            Bahwa jika suatu pernikahan, dimana itu ialah satu-satunya hal yang aku inginkan, dapat aku lakukan sendirian Mas, ya benar-benar sendirian dan tak perlu menunggu engkau dengan segala keraguanmu itu, maka mungkin sudah aku lakukan berbulan-bulan lalu Mas. Begitu pula, andai saja aku bertemu dan jatuh hati pada lelaki selain dirimu, yang setidak-tidaknya mau menikahiku.

              Teguh sadar, momen bercanda dan tertawa nya sudah berlalu. Kini waktunya serius. Lagi dan lagi, hanya mengulang hari.

            Wi, kau itu bicara apa, sudah hampir ribuan kali kan kita membahas hal ini, ribuan kali juga Mas menanggapimu dengan berbagai pertimbangan.

            Hari demi hari juga, usiaku sudah semakin matang Mas, wanita-wanita seumuranku di kampung ini sudah memiliki momongan bahkan cucu. Aku dan tubuhku juga sudah merasa siap untuk menikah dan memiliki anak. Aku hanya tak mau Mas, aku bak buah mangga yang terlalu matang dan tak sempat disantap, hingga jatuh ke tanah dan terlupakan.ucap Wiwi dengan mata memandang yang entah kemana itu.

Ada waktunya Wi, tidak sekarang. balas Teguh singkat.

            Waktu yang memberikan kita kesempatan Mas, kemarin, esok atau sekarang tak ada bedanya, yang kau lakukan hanya menunda. Kita itu bukan pemilik waktu Mas, yang bisa kita lakukan ketika ada, ialah melakukan sebaik kita bisa.

            Lalu apa menurutmu kita adalah yang pasti tahu yang mana yang terbaik bagi kita Wi. Mas ingin dan hanya akan menikahimu Wi. Memangnya jika sudah menikah, lalu nanti kau akan ribut soal apa ? ingin anak, lalu setelah punya anak, lalu ingin apa ? punya harta berlimpah, lalu sudah kaya, kau ingin apalagi untuk kau capai Wi? Teguh dengan pikirannya yang sudah sumpek telah bicara lewat mulutnya

            Memang, tak pernah puas itu manusiawi Mas. Pikirkan Mas, apa yang bisa aku lakukan selain hanya menikah? Orang tuaku sudah tiada, aku sudah bekerja, mapan dan cukup, aku memiliki lelaki yang sudah kukenal betul segala apanya. Apa kau berharap aku akan rela mati sebelum aku menikah dan memiliki anak? ucap Wiwi dengan lugas dengan menatap wajah yang mulai menunduk itu.

              Pembahasan soal menikah memang sudah sangat sering mereka perdebatkan. Tak jarang, akhirnya Wiwi memutuskan masuk kedalam tanpa pamit dan hanya mengisyaratkan tangis, tak jarang pula berakhir dengan janji-janji Teguh yang memupuk harapan di hati Wiwi.

              Bagi Teguh, menikahi Wiwi ialah kepastian yang entah kapan, tapi sudah jelas, di hatinya, hanya ada Wiwi semata. Bagi Wiwi, dia merasa tak cukup jika hanya ada dihati, dia ingin namanya di kartu nikah, kartu keluarga, dan semacamnya. Wajar saja, usia mereka terlampau sedikit jauh. Tahun ini, Wiwi sudah hampir berkepala empat, sedang Teguh, baru kemarin menginjak kepala tiga.

            Apa kau sudah yakin Wi?tanya Teguh perlahan, Wiwi hanya melihat ke arah Teguh yang sedang entah kemana pandangannya tertuju.

            Apa kau sudah yakin, bahwa Mas lah lelaki yang kau inginkan. Mengingat kita punya banyak sekali perbedaan, ya walaupun kita selalu bisa berdebat dan mengobrol lalu memaklumi, tapi apa kau benar-benar yakin? aku hanya tak mau menjadi bahan penyesalan mu nantinya.

            Sudah hampir seperempat hidupku, aku habiskan untuk mengenalmu Mas. Selama itu juga, hampir tak ada keraguan untukku memilih dan yakin padamu. Aku sudah dan akan menua Mas, tak ada lagi waktu bagiku untuk mengulang kesenangan dan kehangatan kita di waktu dulu pada lelaki yang lain Mas.

              Suasana malam itu, ya, tepatnya setelah Wiwi mengucapkan kalimat itu, seluruh angin seakan berkumpul dan bersepakat menabrakkannya pada dada Teguh, rasanya sesak sekali, nafasnya seakan ingin keluar melalui matanya menjelma tetesan. Ujung kepalanya seperti disambar petir, lalu bergetar seluruh tubuhnya, dan runtuh.


            Mas akan pulang. Kau istirahat Wi, esok kau harus bersih-bersih rumah, mencuci piring dan gelas, lalu bersiap-siap dengan dirimu. Esok lusa Mas akan datang kembali, dan rumahmu akan menjadi tempat, dimana engkau akan menikah denganku.

               Segalanya. Itu kata yang mungkin menggambarkan atas apa yang dirasakan Wiwi malam itu. Adalah rasa, yang dia tunggu-tunggu selama ini. Rasanya lebih dahsyat mungkin, ketimbang apa yang dirasakan Teguh tadi. Mungkin tak hanya angin kali ini yang menabrak dada Wiwi malam itu. Jika pintar melihat, mungkin hal-hal gaib juga ikut bersorak dan menepuk pundak Wiwi, mungkin bahkan memeluk. Napasnya menarik panjang, matanya lebar terbuka penuh arti, telinganya tak lagi bisa peduli pada apa selain Teguh dan ihwalnya, wajahnya seakan mengalami kram sesaat, bagaimana tidak, dengan tiba-tiba beralih dari suasana yang sudah begitu pasrah, lalu tersenyum lebar dan bahagia. Malam itu, seakan menjadi wahyu, bahwa tugasnya menjadi manusia semakin dekat dengan usai.

                Waktu pun berlalu,Sedang mengingat Mbak Wiwi ya mas?tanya Narti mengagetkan Teguh, yang sedang membaca buku hariannya. Aku tahu mas, bahkan sampai saat ini, masih Mbak Wiwi kan Mas pikir?, tak apa mas, setidaknya-tidaknya jika bukan karena cinta, kita bersama karena janji pada Mbak Wiwi yang mengikat kita di akhir hidupnya dulu kan. Aku pun ingat mbak Wiwi pernah berucap padamu, bahwa ada kalanya hidup tak lagi terus mengembara Guh, tak lagi terus menerjang kemungkinan-kemungkinan, istirahatlah.

                Teguh tak membalas satu ucap pun. Kejadian itu sudah berlalu bertahun-tahun sebelum anak mereka Fatah lahir. Entah bagaimana cara menuliskannya, mengingat bagaimana sore itu terjadi. Semuanya telah dikabulkan, tinggal menunggu hidup sehari lagi, dan dia akan menikah. Tapi tidak, dia memilih untuk mati dan mengikat Teguh dan Narti dalam suatu hubungan yang disebut pernikahan.

                Aku mungkin memang tidak jadi menikah, tapi bukan karena aku atau lelakiku yang belum siap. Kalian berdua menikahlah untukku, ada kalanya hidup tak lagi terus mengembara, tak lagi terus menerjang kemungkinan-kemungkinan, istirahatlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POPULER