Selasa, 11 Juli 2023

SELASA SASTRA - CERPEN "Malas Sekolah"

 

Malas Sekolah

oleh : dans

 

“Bila, bangun. Sudah waktunya sekolah.”

Mata ini terlalu berat untuk merespon ocehan Ibu sejak pagi. Namun apa boleh buat, perlahan aku membuka mata dan meraba gawai yang biasa aku letakkan di meja samping tempat tidur. Jam telah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit, menandakan bahwa kelas akan segera di mulai. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, lalu duduk di depan meja belajar. Mempersiapkan segala hal untuk sekolah pagi ini ‒sekedar untuk mencuci muka pun aku tak sempat.

Aku sudah terlalu muak dengan kegiatanku selama beberapa bulan ini. Kukira belajar di rumah akan terasa lebih mengasyikkan ketimbang harus bersiap-siap pergi ke sekolah, nyatanya kenyataan tak selamanya indah sesuai dengan harapan. Aku mulai menyesali angan-anganku kala itu sebelum semua menjadi kenyataan.

“Nabila Wahyu,” suara seorang guru memanggilku dari balik layar monitor komputerku. “Hadir, Bu,” aku menjawab dengan suaraku yang masih serak, menunjukkan bahwa aku baru saja bangun dari tempat tidur.

“Wah, Mba Bila baru saja bangun, ya.”

Tepat! Jawabku dalam hati.

Keadaan menuntut semua manusia di dunia untuk berubah. Keadaan ini datang tanpa aba-aba, aku atau bahkan mungkin semua manusia di bumi ini tidak pernah berpikir semua ini akan terjadi. Ini seperti mimpi buruk yang datang bertubi-tubi tanpa henti. Siapa yang bisa menyangka akan datangnya penyakit mematikan dan sangat cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia?

Karena itu, semua orang dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan di rumah. Begitu pun dengan sistem pembelajaran para siswa sekolah, baik dari yang masih taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Kami para pelajar diharuskan untuk melakukan segala kegiatan sekolah dari rumah.

Namun sekolah di rumah hanya membentukku menjadi seorang pemalas. Aku bahkan tidak sempat untuk membersihkan badanku sebelum memulai pertemuan virtual dengan guru. Aku pun acuh tak acuh dengan apa yang sedang guru bicarakan di balik layar monitor ini. Aku hanya asyik dengan duniaku sendiri. Terkadang pertemuan virtual ini hanya akan aku tinggal tidur atau bermain gawai.

“Untuk mengakhiri pembelajaran hari ini, Ibu mau memberikan tugas kelompok ke teman-teman semua,” ucap Ibu guru.

Percaya atau tidak, pada tiap pertemuan virtual seperti ini, aku memperhatikan guru hanya saat presensi dan pemberian tugas.

“Tugasnya sudah Ibu kirim melalui chat box, silahkan di-download dan dikerjakan. Setiap kelompok terdiri dari 5-6 orang,” lanjutnya.

“Untuk pembagian kelompoknya bagaimana ya, Bu?” celetuk salah satu teman kelas untuk memastikan bagaimana sistem pembagian kelompok.

“Saya serahkan ke teman-teman semua mau bagaimana pembagiannya, yang jelas dibagi menjadi 6 kelompok. Sekian, saya akhiri pertemuan hari ini,” pungkas Ibu guru dan pertemuan virtual hari ini pun berakhir.

Aku benar-benar sudah muak dengan sistem pembelajaran ini. Terlebih saat mendapat tugas kelompok.

Sejak hari pertama aku memulai pembelajaran di sekolah ini, aku tak pernah benar-benar mengenal teman-teman kelas. Aku juga bukan seorang ekstrover yang dengan mudah dapat berbaur dengan teman-teman, baik di dunia nyata mau pun di dunia maya. Itulah mengapa aku sangat membenci tugas kelompok ketika guru membebaskan siswanya dalam membagi kelompok.

Aku akan menjadi orang terakhir yang mendapat kelompok ketika pembagian kelompok dimulai. Ini bukan tentang siapa cepat dia dapat atau pemilihan random pada aplikasi spin. Budaya kelasku selalu menerapkan circle pertemanan. Bagi yang tidak mempunyai circle pertemanan akan sangat dirugikan, dan aku salah satunya.

Argh, menyebalkan! Mengapa aku selalu mendapat kelompok yang isinya orang-orang tidak berguna? Kesalku dalam hati.

Sungguh menyebalkan ketika kelompok sudah terbagi dan aku mendapatkan teman-teman kelompok yang tidak bertanggung jawab atas tugas yang telah diamanahkan. Maka tidak heran jika nilai-nilaiku tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Entahlah mungkin aku yang salah karena tidak berusaha lebih keras dalam belajar atau mungkin karena aku tak mempunyai circle pertemanan?

Aku tidak tahan. Sungguh kehidupan sekolah ini sangat menyengsarakan. Hampir tiap malam aku menyalahkan diriku sendiri karena tidak menjadi manusia yang lebih baik. Pertanyaan-pertanyaan depresif selalu menghantuiku.

Mengapa aku sangat pemalas?

Mengapa aku sangat sulit berbaur dengan teman-teman sebayaku?

Mengapa ekspektasiku selalu tinggi ketika aku tak pernah benar-benar baik dalam berusaha?

Hingga pada akhirnya aku tak mampu menahannya sendiri. Aku beranjak dari kamar tidurku. Kudapati ibu sedang menonton serial TV di ruang keluarga. Perlahan aku berjalan menuju ibu. Dengan tatapan penuh pilu aku duduk di sampingnya.

“Ibu,” ucapku lirih.

Ibu menoleh dan menatapku penuh tanya.

“Ada apa?” tanya ibu.

Air mata yang sejak tadi aku bendung akhirnya tak sanggup untuk menampungnya lagi. Ia mulai mengalir deras bersamaan dengan pilu-pilu yang selama ini menggerogoti hati dan pikiranku. Isak tangisku makin menjadi-jadi. Ibu yang tak mengerti apa-apa semakin panik melihat anaknya yang tiba-tiba terisak di depan matanya.

“Bila, jawab ibu, kamu kenapa?” tanya ibu terus menerus bersamaan dengan air mata yang mengalir dipipinya. Tangannya berusaha menghapus air mata di pipiku. Apakah ibu dapat merasakan pilu yang selama ini bersamaku?

Aku berusaha keras untuk menghentikan isak tangisku. Sampai akhirnya, hal terakhir yang dapat aku katakan sebelum akhirnya aku tak sadarkan diri dalam pelukannya adalah..

“Ibu, aku tidak ingin sekolah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POPULER